Ayah Tak Ingin Angkuh
Bunda, sungguh aku tidak ingin angkuh dalam
mencintaimu. Berpikir ribuan tahun masa aku mulai mengerti aku memang
bukan yang terbaik untukmu. bunda, aku tidak ingin angkuh dalam cinta
ini.
Dulu, aku ingin sekali me-monopoli-mu. Menjadikanmu bagian dari
hidupku, membuatmu menyatu bersamaku. Aku ingin darahmu mengalir dalam
nadiku dan darahku menjadi serta darahmu. Aku ingin nafasmu menghembus
dari dua lubang hidungku dan nafasku memenuhi paru-parumu. Aku ingin kau
menjadi aku dan aku adalah engkau. Aku ingin kita bagai satu jiwa yang
terpisah oleh badan dan pikiran. Aku ingin engkau menutupi kekuranganku
dan aku menjadi sisi positif bagimu. Sungguh Bunda, aku ingin bersatu
denganmu membangun masa depan dari tangan dingin kita berdua, membangun
sebuah kehidupan yang didasari oleh cinta, membuah sebuah Mahakarya
agung yang tiada duanya, sebuah kolosal kehidupan yang dibangun atas
dasar cinta. Sungguh Bunda aku menginginkan itu.
Dulu Bunda, itu dulu. Namun hingga saat ini aku masih ingin tetap
menginginkan itu, karena aku mencintaimu. Namun bunda sekarang aku
mulai memahami apa makna kesabaran, apa arti bahwa cinta adalah sebuah
pengorbanan. Bunda, aku belajar untuk tidak angkuh dalam memandang
cinta.
Bunda, aku belajar tentang rasa sakit mendendam saat sebuah janji
terlupakan. Bunda, aku belajar sebuah kelapangan dada saat hati
berbicara kau tidak pernah menginginkan aku lebih. Aku juga belajar
sesuatu Bunda tentang apa yang disebut air mata lelaki yang jatuh
tanpa isakan dari luka hati yang amat sangat dalam. Sungguh Bunda, kau
adalah Guruku, kau mengajarkan sebuah cinta suci bagiku di dunia ini,
sebuah cinta yang menuntut pengorbanan, sebuah cinta yang tersangkut
diujung lidah untuk ditahan, sebuah cinta yang membuat aku tidak pernah
mampu tidur nyenyak, sebuah cinta yang jika dia nyata maka lebih
berkobar dari api neraka terpanas sekalipun. Puteri, cinta itu membakar.
Sumpah.
Puteri, tahukah engkau saat aku melewati lorong-lorong kampusku aku
merasa ada jiwamu di sana. Saat aku berjalan, dalam tiap kaca-kaca
jendela aku merasa ada matamu di sana dan itu membuatku tertunduk kaku.
Saat melewati lorong-lorong aku merasa bahwa ada engkau di tiap sudut
lorong hingga membuatku mempercepat langkah kaki ini. Bunda terkadang
aku ingin bertanya “Pernahkah engkau merasa seperti yang aku rasakan
ini?”
Bunda, jujur cinta membuatku belajar akan satu hal. Cinta membuatku
harus bertoleransi terhadap dirimu, dia membuatku yang awal angkuh
menjadi tidak angkuh. Puteri, sungguh aku amat sangat tidak sempurna. Bunda engkau putih, cantik, pintar, dan bersahaja sedangkan aku Cuma
sok cakep, sok pintar, dan sok bersahaja. Aku ini tidak seperti yang
terlihat. Aku hanyalah makhluk lemah dan tak memiliki kekuatan dan tekad
baja, aku ini pengecut Bunda Aku pengecut.
Saat kau menyebut nama lelaki lain, sungguh puteri aku merasa bahwa
engkau mencintai dia. Sungguh mereka berjuang sungguh-sungguh untuk
mendapatkan perhatianmu, mereka sungguh angkuh dan aku bisa mengerti
berasal darimana keangkuhan itu. Aku pernah seperti itu puteri, dan aku
selalu mendorongmu untuk memberikan mereka perhatian lebih. Saat
seorang lelaki memintamu menjadi kekasihnya, aku juga menyatakan
“Jadilah kekasihnya” karena aku merasa aku terlalu sederhana
dibandingkan dia. Sungguh memang aku benar-benar cemburu, namun
kebahagiaanmu itu yang kuutamakan. Bahkan jika ada seseorang yang
meminta untuk melamarmu, aku siap puteri untuk menjadi mak comblangnya
asal lelaki itu cukup syarat untuk menjadi pembelaimu. Aku tidak ingin
angkuh puteri dalam mencintaimu.
Pernahkah engkau sadar hal itu puteri? Mungkin engkau mengira bahwa
aku melakukan itu karena aku memang tidak pernah memiliki hati
terhadapmu, namun itu salah. Aku melakukan itu karena aku amat sangat
mencintamu puteri. Teramat sangat.
Bunda, ketidak-angkuhan membuatku mengerti bahwa aku harus menjadi
pilihan terakhirmu, karena di dunia ini ada banyak yang lebih pantas
untukmu daripada seorang aku. Puteri, aku sungguh pathetic ya?
Asal demimu aku rela.
Sungguh Bunda, cinta itu amat sangat membakar. Aku berharap engkau
tidak akan pernah terbakar oleh cinta yang seperti ini, jangan pernah.
Dan kalaupun engkau terbakar oleh cinta ini, entah mengapa dengan angkuh
aku ingin engkau terbakar karenaku dan olehku. Puteri, aku menjadi
semakin tidak mengerti aku.
Bunda, aku tidak ingin angkuh dalam mencintaimu. Jika suatu hari
engkau bertemu seorang pria yang pantas untukmu, datanglah kepadaku. Aku
akan selalu mensupportmu. Aku tidak ingin angkuh puteri, karena aku
tahu aku bukanlah yang paling sempurna, aku bukan yang terbaik.
Bunda… sungguh aku mencintaimu. Amat sangat.
Cinta yang amat sangat
membakar.
bunda… cukup aku yang terbakar, jangan engkau.
Dan jika terbakar,
jangan pernah menyesal.
Ayah Yang Tidak Ingin Angkuh.
Ayah Yang Sedang Terbakar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar