Obat Ketika Merindukan Si Dia
Tak bisa disangkal, manusia akan selalu
bersentuhan dengan cinta. Sementara kecintaan memberikan buah kerinduan.
Orang yang mencinta akan rindu kepada orang yang dicintainya.
Kerinduan kepada kekasih, seringkali membekaskan duka. Karena
sudah tahu bahwa pacaran
bukanlah jalan yang halal untuk ditempuh, maka nikahlah
satu-satunya yang jadi pilihan. Padahal si pria belum mampu memberi
nafkah lahir. Wanita pun masih muda dan dituntut oleh orang tua untuk
menyelesaikan sekolah atau meraih gelar. Akhirnya, karena tidak
kesampaian untuk nikah, maka pacaran terselubung sebagai jalan keluar
karena tidak kuat menahan rasa rindu pada si dia. Lewat chatting, inbox
FB atau sms jadi jalur alternatif.
Inilah yang dialami pemuda masa
kini. Mungkin juga dialami para aktivis dakwah. Agar dikira tidak
melalui pacaran, maka sms dan chatting yang jadi pilihan. Seharusnya
rasa rindu ini bisa dipendam dengan melakukan beberapa kiat yang akan
kami utarakan[1].
Semoga Allah senantiasa memberi taufik.
Terapi dari Rasa
Rindu dengan Segera Nikah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ
الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ
أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para
pemuda, barangsiapa yang memiliki baa-ah[2],
maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih
menjaga kemaluan.
Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena
puasa itu bagai obat pengekang baginya.”[3]
Yang
dimaksud dengan syabab (pemuda) di sini adalah siapa saja yang belum
mencapai usia 30 tahun. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah.[4]
Secara
bahasa, baa-ah bermakna jima’ (berhubungan suami istri).
Sedangkan mengenai makna baa’ah dalam hadits di atas terdapat ada dua
pendapat di antara para ulama, namun intinya kembali pada satu makna.
Pertama: makna baa-ah
adalah sebagaimana makna secara bahasa yaitu jima’. Sehingga
makna hadits adalah barangsiapa yang mempunyai kemampuan untuk berjima’
karena mampu memberi nafkah nikah, maka menikahlah. Barangsiapa yang
tidak mampu berjima’ karena ketidakmampuannya memberi nafkah, maka
hendaklah ia memperbanyak puasa untuk menekan syahwatnya dan untuk
menghilangkan angan-angan jeleknya.
Pendapat kedua: makna baa-ah adalah
kemampuan memberi nafkah. Dimaknakan demikian karena konsekuensi dari
seseorang mampu berjima’, maka tentu ia harus mampu memberi nafkah.
Sehingga makna hadits adalah barangsiapa yang telah mampu memberi nafkah
nikah, maka hendaklah ia menikah. Barangsiapa yang tidak mampu, maka
berpuasalah untuk menekan syahwatnya.
Jadi maksud dari dua
pendapat ini adalah sama yaitu harus punya kemampuan untuk memberi
nafkah. Sehingga inilah yang menjadi syarat seseorang (khususnya pria)
untuk membina rumah tangga dengan kekasih pilihan, yaitu ia memiliki
kemampuan untuk memberi nafkah keluarga. Hal ini yang banyak
disalahpahami sebagian pemuda. Mereka ngebet minta nikah pada ortunya.
Padahal sesuap nasi saja masih ngemis pada ortunya. Hanya Allah yang
memberi taufik.
Dari sini, barangsiapa yang memiliki
kemampuan, maka segeralah untuk menikah guna memadamkan rasa rindu yang
ada. Menikah di sini tidak mesti dengan orang yang selalu dirindukan.
Boleh jadi, juga dengan orang lain. Karena nikah telah mencukupkan
segala kebutuhan jiwa di samping dalam nikah akan ditemui banyak
keberkahan. Jika memungkinkan menikah dengan orang yang dirindukan, maka
menikahlah dengannya. Ini merupakan terapi manjur.
Berusaha
untuk Ikhlas dalam Beribadah
Ikhlas adalah obat manjur
penyakit rindu. Jika seseorang benar-benar ikhlas menghadapkan diri pada
Allah, maka Allah akan menolongnya dari penyakit rindu dengan cara yang
tak pernah terbetik di hati sebelumnya. Cinta pada Allah dan nikmat
dalam beribadah akan mengalahkan cinta-cinta lainnya.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sungguh, jika hati telah merasakan
manisnya ibadah kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya, niscaya ia tidak
akan menjumpai hal-hal lain yang lebih manis, lebih indah, lebih nikmat
dan lebih baik daripada Allah. Manusia tidak akan meninggalkan sesuatu
yang dicintainya, melainkan setelah memperoleh kekasih lain yang lebih
dicintainya. Atau karena adanya sesuatu yang ditakutinya. Cinta yang
buruk akan bisa dihilangkan dengan cinta yang baik. Atau takut terhadap
sesuatu yang membahayakannya.”
Hati yang tidak ikhlas akan selalu
diombang-ambingkan nafsu, keinginan, tuntutan serta cinta yang
memabukkan. Keadaannya tak beda dengan sepotong ranting yang meliuk ke
sana kemari mengikuti arah angin.
Banyak Memohon pada
Allah
Setiap do’a yang kita panjatkan pasti akan
bermanfaat. Boleh jadi do’a tersebut segera dikabulkan oleh Allah. Boleh
jadi sebagai simpanan di akhirat. Boleh jadi dengan do’a kita tadi,
Allah akan menghilangkan kejelekan yang semisal.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
« ما
مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ
رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ
تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ
وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً
نُكْثِرُ. قَالَ « اللَّهُ أَكْثَرُ »
“Tidaklah seorang muslim
memanjatkan do’a pada Allah selam tidak mengandung dosa dan memutuskan
silaturahmi (antar kerabat, pen) melainkan Allah akan beri padanya tiga
hal: [1] Allah akan segera mengabulkan do’anya, [2] Allah akan
menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan
darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau
begitu kami akan memperbanyak berdo’a.” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allahu akbar (Allah Maha
besar).”[5]
Ketika
seseorang berada dalam kesempitan dan dia bersungguh-sungguh dalam
berdo’a, merasakan kebutuhannya pada Allah, niscaya Allah akan
mengabulkan do’anya. Termasuk di antaranya apabila seseorang memohon
pada Allah agar dilepaskan dari penyakit rindu dan kasmaran yang terasa
mengoyak-ngoyak hatinya. Penyakit yang menyebabkan dirinya gundah
gulana, sedih dan sengsara. Oleh karena itu, perbanyaklah do’a.
Memenej
Pandangan
Pandangan yang berulang-ulang adalah pemantik
terbesar yang menyalakan api hingga terbakarlah api dengan kerinduan.
Orang yang memandang dengan sepintas saja jarang yang mendapatkan rasa
kasmaran. Namun pandangan yang berulang-ulanglah yang merupakan biang
kehancuran. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
kita untuk menundukkan pandangan agar hati ini tetap terjaga. Dari
Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ
فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى
“Aku bertanya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma
selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.”[6]
Mujahid
mengatakan,
غَضُّ الْبَصَرِ عَنْ
مَحَارِمِ اللَّهِ يُورِثُ حُبَّ اللَّهِ
“Menundukkan pandangan
dari berbagai hal yang diharamkan oleh Allah, akan menimbulkan rasa
cinta pada Allah.”[7]
Berarti menahan pandangan dari wanita yang bukan mahrom akan
menimbulkan rasa cinta pada Allah. Menundukkan pandangan yang dimaksud
di sini ada dua macam yaitu memandang aurat sesama jenis dan memandang
wanita yang bukan mahram.
Tiga faedah dari menundukkan pandangan
telah disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[8]
Pertama: Akan merasakan
manis dan lezatnya iman. Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah,
Dia akan memberi ganti dengan yang lebih baik.
Kedua: Akan memberi cahaya
pada hati dan akan memiliki firasat yang begitu cemerlang.
Ketiga: Akan lebih menguatkan
hati.
Lebih Giat Menyibukkan Diri
Dalam
situasi kosong kegiatan biasanya seseorang lebih mudah untuk berangan
memikirkan orang yang ia cintai. Dalam keadaan sibuk luar biasa berbagai
pikiran tersebut mudah untuk lenyap begitu saja. Oleh karena itu, untuk
memangkas kerinduan seseorang hendaknya menyibukkan diri dengan hal-hal
yang bermanfaat baik untuk dunia atau akhirat. Hakikat dari rasa rindu
adalah kesibukan hati yang kosong. Di kala sepi sendiri, tanpa aktivitas
muncullah bayangan sang kekasih, wajah, gerak-gerik, dan segala yang
berkaitan dengannya. Seluruhnya hanya sekedar bayangan dan khayalan yang
berakhir dengan kesedihan diri. Tiada manfaatnya sedikit pun bagi
kehidupan kita.
Ibnul Qayyim menyebutkan nasehat seorang sufi yang
ditujukan pada Imam Asy Syafi’i. Ia berkata,
وَنَفْسُكَ إِنْ أَشْغَلَتْهَا بِالحَقِّ وَإِلاَّ
اشْتَغَلَتْكَ بِالبَاطِلِ
“Jika dirimu tidak tersibukkan
dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan hal-hal
yang sia-sia (batil).”[9]
Menghindari
Nyanyian dan Film Percintaan
Nyanyian dan film-film
percintaan memiliki andil besar untuk mengobarkan kerinduan pada orang
yang dicintai. Apalagi jika nyanyian tersebut dikemas dengan mengharu
biru, mendayu-dayu tentu akan menggetarkan hati orang yang sedang
ditimpa kerinduan. Akibatnya rasa rindu kepadanya semakin memuncak,
berbagai angan-angan yang menyimpang pun terbetik dalam hati dan
pikiran. Bila demikian, sudah layak jika nyanyian dan tontonan seperti
ini dan secara umum ditinggalkan. Demi keselamatan dan kejernihan hati.
Sehingga sempat diungkapkan oleh beberapa ulama nyanyian adalah
mantera-mantera zina.
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian
menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.”
Fudhail
bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.”
Adh
Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan
mendatangkan kemurkaan Allah.”[10]
Imam
Asy Syafi’i berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang
tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja
yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.”[11]
Bayangkan
Kekurangan Si Dia
Ingatlah
selalu, orang yang engkau rindukan bukanlah pribadi yang sempurna. Ia
sangat banyak kekurangan, sehingga tidak layak untuk dipuja, disanjung
atau senantiasa dirindukan. Orang yang dirindukan sebenarnya tidak
seperti yang dikhayalkan dalam lamuman.
Ibnul Jauzi berkata,
“Sesungguhnya manusia itu penuh dengan najis dan kotoran. Sementara
orang yang dimabuk cinta senantiasa melihat kekasihnya dalam keadaan
sempurna. Disebabkan cinta ia tidak lagi melihat adanya aib.”
Kita
bisa menghukumi sesuatu dengan timbangan keadilan sedangkan orang yang
sedang kasmaran tengah dikuasai oleh hawa nafsunya sehingga tak dapat
bersikap dengan adil. Kecintaannya menutupi seluruh aib yang dimiliki
oleh pasangannya.
Para ahli hikmah berkata, “Mata yang diliputi
oleh hawa nafsu akan menjadi buta.”
Semoga Allah memberi taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi
sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.remajaislam.com
Pangukan, Sleman, Kamis, 24 Dzulqo’dah 1430 H
[1] Kiat-kiat ini kami olah dari pembahasan Majalah Elfata, edisi 02, volume 05, tahun 2005.
[2] Baa-ah ada tiga penyebutan lainnya: [1] al baah (الْبَاءَة), [2] al baa’ (الْبَاء), dan [3] al baahah (الْبَاهَة). Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 5/70, Mawqi’ Al Islam.
[3] HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400.
[4] Lihat Syarh Muslim, 5/70.
[5] HR. Ahmad no. 11149, 3/18, dari Abu Sa’id. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (bagus). Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.
[6] HR. Muslim no. 2159.
[7] Majmu’ Al Fatawa, 15/394, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H
[8] Majmu’ Al Fatawa, 15/420-426
[9] Al Jawabul Kafi, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
[10] Lihat Talbis Iblis, 289, Asy Syamilah
[11] Talbis Iblis, 283
Tidak ada komentar:
Posting Komentar