Jumadil Awwal,
Bulan Pelurusan Arah Kiblat dan
Pejuang yang Teguh
Bulan Jumadil Awwal dikenang sejarah sebagai bulan yang penuh
peristiwa mengharukan. Ada peristiwa penting yang terjadi di bulan
Jumadil Awwal. Adapun tahun 2007 ini, tepatnya Hari Senin Kliwon, 28 Mei
2007, tanggal 11 Jumadil Awwal 1428 H, ditetapkan para ahli falak
sebagai yaumu rashdil qiblah, yakni hari penetapan arah
kiblat. Hari itu tepat pukul 16.18 WIB, matahari tengah berada tepat di
arah Ka’bah, sehingga bayangan benda yang tegak lurus di daerah
sekitarnya merepresentasikan arah kiblat yang benar.
Sesuai dengan perubahan rotasi
bumi saat mengitarinya, posisi matahari tepat di atas Ka’bah terjadi
dua kali dalam setahun. Selain tanggal 28 Mei 2007, hari penetapan arah
kiblat juga terjadi kembali pada hari Senin Wage, 16 Juli 2007, 1 Rajab
1428 H, pukul 16.27 WIB.
Selain itu, bulan Jumadil Awwal juga penuh kisah mengharukan.
Selain merupakan bulan kelahiran beberapa ulama dan awliya’ besar,
seperti Imam Ghazali dan Imam Ali Zainal Abidin, bulan kelima dalam
kalender Hijriyah ini juga menjadi saksi keteguhan seorang pejuang
muslim sejati, Abdullah bin Zubair bin Al-‘Awwam, dan ibunya, Asma’
binti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Tanggal 17 Jumadil Awwal adalah hari ketika
Abdullah dihukum mati oleh Hajjaj bin Yusuf, salah seorang punggawa
yang sangat terkenal kezhalimannya.
Tentang Asma’ binti Abu Bakar,
sang bunda, catatan sejarah telah mengabadikan kisah-kisah keteguhan
hatinya. Pada masa mudanya, ia adalah gadis yang mengantarkan bekal
makanan ke Gua Tsur untuk ayahandanya, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., yang
tengah menemani junjungannya, Rasulullah saw. dalam menempuh perjalanan
hijrah ke Madinah. Gurat rona merah bergambar telapak tangan di pipinya
juga mengisahkan kesetiaannya melindungi tempat persembunyian
junjungannya di Gua Tsur meski Abu Jahal menginterogasinya dengan
kekerasan.
Sedangkan mengenai putranya, Abdullah bin Zubair, diceritakan,
beberapa tahun setelah Tragedi Karbala, pemerintah Bani Umayyah kembali
membidik tokoh-tokoh muslim yang dianggap musuhnya. Sebelum wafatnya,
Mu’awiyyah telah memberikan wejangan khusus tentang tiga tokoh yang
dianggap potensial akan merongrong kewibawaan pemerintahannya.
“Ada tiga orang yang bisa
menjadi pesaingmu,” kata Mu’awiyyah sebelum ajal menjemput nyawanya.
“Husain bin Ali, Abdullah bin Zubair, dan Muhammad bin Abdurrahman.
Mereka adalah orang-orang yang ucapannya akan didengar oleh kaum
muslimin. Muhammad bisa diabaikan, karena ia terlalu sibuk memikirkan
akhiratnya. Sedangkan Husain adalah seorang yang berhati teguh dan
ikhlas. Jika ia memberontak dan kau berhasil mengalahkannya, ampunilah
dia. Betapapun ia masih keluarga kita. Tapi berhati-hatilah terhadap
Abdullah bin Zubair. Ia orang yang tak mengenal kompromi. Jika kau
berhasil mengalahkannya, bunuhlah dia,” kata Mu’awiyyah kepada Yazid,
penerus pemerintahannya.
Namun, Yazid tetaplah Yazid. Setelah pasukannya berhasil
mengalahkan pengikut Sayyidina Husain, cucu sang Nabi itu pun tetap
dibantai habis. Tak lama kemudian, Abdullah bin Zubair mulai dibidik
melalui begundalnya yang bengis, Hajjaj bin Yusuf. Berbagai teror
dilancarkan kepada cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq itu, hingga Abdullah tak
bisa menahan diri dan mengangkat senjata.
Kesempatan itu digunakan
Hajjaj untuk mengerahkan pasukan dan menyerang Abdullah beserta
pengikutnya yang tinggal di Kota Suci Makkah. Setelah pengepungan selama
berhari-hari, pertempuran meletus di sekitar Masjidil Haram, yang
dijadikan basis perlindungan terakhir oleh pengikut Abdullah bin Zubair.
Tanpa memandang kesuciannya, pasukan Hajjaj melontarkan
manjanik-manjanik (batu lontar) ke jantung masjid paling mulia itu,
hingga sebagian dinding Ka’bah berlubang.
Setelah sebagian pengikutnya
gugur, pengepungan yang ketat membuat beberapa pengikutnya yang lain
mulai menyerah. Dengan gundah, Abdullah bin Zubair menghadap sang bunda,
yang saat itu usianya sudah mendekati 100 tahun, sakit-sakitan dan
hampir buta, untuk berkeluh kesah.
Abdullah berkata kepada
ibunya, “Wahai ibu, orang-orang telah mengkhianatiku, bahkan juga istri
dan anakku. Tidak ada yang tersisa, kecuali sedikit orang yang agaknya
sudah tidak tahan untuk bisa bersabar lebih lama lagi. Sementara Hajjaj
dan pasukannya menawarkan kesenangan apa saja, asal aku mau tunduk
kepada mereka.”
Mendengar keluh kesah sang putra, Asma’ – mengalahkan rasa
ibanya, demi menjaga harga diri – menjawab dengan tegas, “Demi Allahu,
anakku, engkau lebih tahu tentang dirimu. Jika menurutmu engkau berada
di jalan yang benar, teruskan langkahmu. Sahabat-sahabatmu pun telah
banyak yang terbunuh karena mempertahankan kebenaran itu.”
Lanjut Asma’ lagi, “Janganlah
sekali-kali engkau mau dipermainkan budak-budak Bani Umayyah. Jika
engkau menginginkan dunia, engkau adalah seburuk-buruk hamba yang
mencelakakan dirimu sendiri dan orang-orang yang berjihad bersamamu.”
Abdullah berkata lagi, “Demi
Allah, aku pun berpendapat seperti itu, ibu! Hanya saja aku khawatir
orang-orang Syam itu akan menyayat-nyayat dan menyalib tubuhku bila aku
terbunuh.”
Sang ibu kembali menegaskan, “Anakku, sesungguhnya kambing tidak
akan merasakan sakitnya dikuliti lagi setelah disembelih. Teruskan
langkahmu, dan mintalah pertolongan kepada Allah.”
Ketika keduanya berpelukan
mengucapkan selamat berpisah, tangan sang bunda menyentuh baju besi yang
dipakai Abdullah. Asma’ pun berkata, “Apa-apaan ini, Abdullah? Orang
yang memakai ini adalah orang yang menginginkan sesuatu yang tidak
engkau inginkan!”
Abdullah segera melepas baju besinya dan keluar untuk berperang
dengan gagah berani. Usia Abdullah yang tak lagi muda membuatnya hanya
bertahan beberapa saat sebelum akhirnya terbunuh.
Hajjaj lalu memerintahkan agar
jenazah Abdullah bin Zubair disalib tinggi di sisi Ka’bah dengan
harapan ibunya akan melihatnya sehingga hatinya akan melemah dan tunduk
kepada pemerintah. Namun tak seperti yang diharapkan Hajjaj, ketika
ibunda Abdullah bin Zubair thawaf dan melihat jasad anaknya tergantung
tinggi, ia justru tersenyum dan berkata, “Aku bangga padamu, anakku.
Ketika hidup, engkau lebih tinggi dari orang-orang di sekitarmu. Ketika
mati pun engkau tetap lebih tinggi dari orang-orang di sekitarmu.”
Dalam riwayat lain disebutkan,
Hajjaj berkata kepada Asma’ dengan angkuh, “Bagaimana pendapatmu
tentang apa yang kuperbuat terhadap anakmu, wahai Asma’?”
Dengan datar Asma’ menjawab,
“Engkau telah memporakporandakan dunianya, sedang dia telah
memporakporandakan akhiratmu.”
Abdullah bin Zubair gugur pada
17 Jumadil Awwal 73 H, dan beberapa hari kemudian sang ibu menyusulnya
berpulang ke rahmatullah. Meski wafat dalam usia hampir 100 tahun, jasad
Asma’ masih terlihat cantik, dan tak ada satu pun giginya yang tanggal.
.
Sumber:
Majalah ALKISAH No. 12 Tahun V, Almanak Halaman 126-128.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar