Penyusunan
masyarakat Arab
SELESAI perang
Khandaq dan setelah hukuman dilaksanakan terhadap Banu Quraiza,
keadaan Muhammad dan kaum Muslimin sudah makin stabil. Oleh orang-orang
Arab mereka sangat ditakuti sekali. Banyak dari kalangan Quraisy
sendiri mulai berpikir-pikir: tidakkah lebih baik bagi Quraisy sendiri
kalau mereka berdamai saja dengan Muhammad, sebagai orang yang berasal
dari mereka juga dan demikian juga sebaliknya, juga kaum Muhajirin,
sebagai pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin mereka pula.
Kaum Muslimin sekarang merasa lega setelah
pihak Yahudi yang berada di sekitar Medinah itu dapat dibersihkan
sehingga mereka sudah tidak punya arti apa-apa lagi. Mereka masih
tinggal di Medinah selama enam bulan lagi sesudah peristiwa itu. Mereka
meneruskan hidup dalam usaha perdagangan, hidup tenteram dan
sejahtera. Iman mereka akan risalah yang dibawa Muhammad makin dalam
makin patuh mereka menjalankan ajaran-ajarannya. Berjalan bersama-sama
dengan dia mereka menyusun suatu masyarakat Arab, dengan cara yang belum
biasa bagi mereka sebelum itu. Bagaimana pun juga suatu masyarakat
yang teratur harus ada, masyarakat yang punya eksistensi dan bersatu,
seperti masyarakat yang berangsur-angsur terbentuk dibawah naungan
Islam. Pada zaman jahiliah orang-orang Arab itu tidak pernah mengenal
arti suatu organisasi yang tetap, selain daripada apa yang sudah
berjalan menurut adat-istiadat. Mereka tidak punya suatu ketentuan
keluarga, suatu undang-undang perkawinan dan syarat-syarat perceraian.
Hubungan suami-isteri dan anak-anak yang ada hanyalah apa yang
diberikan oleh bawaan iklim yang kadang sangat berlebih-lebihan dalam
bertindak bebas, dan kadang membawa orang justru jadi beku dan terikat,
sampai-sampai ke tingkat perbudakan dengan segala penindasannya. Maka
kini Islam datang dengan menyusun suatu masyarakat Islam yang baru
tumbuh, yang belum lagi punya tradisi. Dalam waktu singkat ia telah
membukakan jalan dalam meletakkan bibit sebuah kebudayaan, yang
kemudian tersusun terdiri dari peradaban Persia, Rumawi dan Mesir,
serta di warnai dengan pola peradaban Islam, yang berkembang setapak
demi setapak sampai ia mencapai kesempurnaannya tatkala firman Allah
ini datang:
"Hari ini Kusempurnakan bagimu agamamu ini
dan Kulengkapkan pula nikmatKu kepadamu, kemudian Kurelakan Islam itu
menjadi agama kamu."1
Affair percintaan dan semangat
perang
Apa pun juga pendapat
orang tentang peradaban tanah Arab serta daerah pedalamannya, namun
sudahkah kota-kota seperti Mekah dan Medinah mempunyai peradaban yang
tidak dikenal oleh daerah pedalaman, ataukah juga ia masih berada pada
tingkat permulaan? Pada dasarnya hubungan pria dan wanita dalam
masyarakat Arab itu seluruhnya - berdasarkan bukti-bukti Qur'an serta
peninggalan-peninggalan sejarah masa itu - tidak lebih adalah suatu
hubungan jantan dengan betina, dengan sedikit perbedaan, sesuai dengan
tingkat-tingkat kelompok dan golongan-golongan kabilah masing-masing,
yang pada umumnya tidak jauh dari cara hidup yang masih mirip-mirip
dengan tingkatan manusia primitif. Dalam hal ini kaum wanitanya pada
zaman jahiliah yang mula-mula mempertontonkan diri, memamerkan
kecantikannya dengan berbagai-bagai perhiasan yang bukan lagi terbatas
hanya pada suaminya. Mereka pergi keluar sendiri-sendiri atau
beramai-ramai untuk keperluan yang mereka adakan di tengah-tengah padang
sahara. Di tempat ini pemuda-pemuda dan kaum pria lainnya menyambut
mereka, dan mereka dipertemukan dengan kelompoknya masing-masing. Kedua
belah pihak mereka sudah tidak peduli lagi, saling bertukar pandangan,
saling bercumbu dengan kata-kata yang manis-manis, yang membuat si
jantan jadi senang dan si betina jadi tenteram. Sudah begitu melekatnya
cara hubungan demikian itu dalam hati mereka, sehingga Hindun isteri
Abu Sufyan tidak segan-segan lagi mengatakan, di tengah-tengah
peristiwa yang sangat genting dan gawat dalam perang Uhud, tatkala ia
membakar semangat pasukan Quraisy:
"Kamu maju kami peluk
"Dan kami hamparkan kasur yang empuk
"Atau kamu mundur kita berpisah
"Berpisah tanpa cinta.
Pada beberapa kabilah masa itu masalah zina
bukanlah suatu kejahatan yang patut mendapat perhatian. Masalah
cumbu-cumbuan sudah merupakan salah satu kebiasaan semua orang.
Sumber-sumber sejarah menyebutkan peristiwa-peristiwa percintaan yang
dilakukan Hindun itu - dengan mengingat kedudukan Abu Sufyan yang
begitu kuat dan penting tidak sampai mengubah kedudukan wanita itu,
baik di kalangan masyarakatnya mau pun ditengah-tengah keluarganya.
Bila ada wanita yang melahirkan anak, dan tidak diketahui siapa bapa
anak itu, tidak segan-segan ia akan menyebutkan, laki-laki mana yang
telah menjamahnya untuk kemudian menghubungkan anaknya kepada orang
yang dianggapnya paling mirip.
Juga pada waktu itu masalah poligami dan
perbudakan tanpa ada batas atau sesuatu ikatan. Laki-laki boleh kawin
sesukanya, boleh mengambil gundik sesukanya. Mereka semua boleh saja
beranak sesuka-sukanya. Soal ini tidak penting waktu itu, kecuali jika
dianggap sebagai rahasia yang akan terbongkar dan dikuatirkan akan
membawa malu serta apa yang kadang sampai menimbulkan ejek-mengejek.
Tiada seorang yang mengetahui akan permusuhan atau peperangan yang
mungkin timbul karenanya. Ketika itulah masalahnya jadi berubah sama
sekali. Kalau dahulu orang melihat semangat cinta-berahi dan api asmara
telah menutupi rasa keakraban, kini hal itu telah dicabik oleh adanya
permusuhan yang dapat menyebabkan timbulnya api peperangan dan semangat
pertempuran, Dan bila permusuhan ini sudah berkecamuk, maka
masing-masing pihak akan menyebarkan desas-desus sesuka hati dan akan
saling menuduh sesuka hati pula. Imajinasi orang Arab itu biasanya
subur sekali, terbawa oleh cara hidupnya dibawah langit terbuka serta
pengembaraannya dalam mencari rejeki. Ia didorong oleh cara yang
berlebih-lebihan, dan kadang berdusta dalam soal-soal perdagangan.
Wanita, di negeri Arab dan di
Eropa masa itu
Seorang orang
Arab suka sekali pada waktu yang terluang dan diisinya dengan bercumbu.
Dalam hal ini khayalnya bertambah subur, baik diwaktu damai mau pun
waktu perang. Apabila diwaktu damai si buyung bertemu dengan si upik,
berbicara dengan bahasa asmara, dengan kata-kata yang sedap, dengan
pujian yang manis-manis, maka diwaktu perang dan dalam keadaan
bermusuhan orang akan melihat si buyung ini juga membuka suara
keras-keras ditujukan kepada si upik, yang dilihatnya didepannya dalam
keadaan telanjang, sambil mengata-ngatainya, misalnya, tentang leher
wanita itu, tentang dadanya, tentang payudaranya, tentang pinggangnya,
tentang bokongnya dan sebagainya dengan cara permusuhan yang beraneka
ragam, Khayalnya itu terangsang, yang mengenal wanita hanya sebagai
betina dan yang akan menghamparkan kasur.
Kendatipun Islam sudah mengikis mental
semacam itu, namun pengaruhnya masih saja ada seperti yang kita baca
dalam sajak-sajak 'Umar b. Abi Rabi'a dan sajak-sajak erotik lainnya
dalam sastra yang masih terpengaruh kepadanya, dalam zaman-zaman
tertentu. Meskipun hanya sedikit sekali, namun pengaruhnya dalam sastra
masih juga terasa sampai pada masa kita sekarang ini.
Bagi pembaca yang suka mengagumi Arab dan
peradabannya, bahkan yang suka mengagumi Arab jahiliah sekalipun,
gambaran demikian ini barangkali akan terasa agak dilebih-lebihkan.
Pembaca demikian ini tentu dapat dimaafkan. Ia membandingkan gambaran
yang kita kemukakan ini dengan fakta yang terjadi dalam masa sekarang,
dengan segala hubungannya antara pria dengan wanita dalam perkawinan
dan perceraian serta hubungan suami-isteri dengan anak-anaknya. Akan
tetapi perbandingan demikian ini salah sekali, yang akibatnya akan
sangat menyesatkan. Sebaliknya yang harus dibandingkan ialah antara
masyarakat Arab yang salah satu seginya kita gambarkan terjadi dalam
abad ketujuh Masehi itu dengan masyarakat-masyarakat beradab lainnya
masa itu juga.
Wanita dalam undang-undang
Rumawi
Rasanya tidak terlalu
berlebih-lebihan kalau kita katakan, bahwa masyarakat-masyarakat Arab
masa itu dengan segala yang sudah kita lukiskan, jauh lebih baik dari
masyarakat-masyarakat lain yang sezaman, di Asia dan di Eropa. Kita
tidak akan bicara tentang keadaan di Tiongkok, atau di India. Kita
belum punya bahan-bahan yang cukup tentang itu. Pengetahuan kita tentang
itu sedikit sekali, belum cukup adanya. Akan tetapi Eropa Utara dan
Eropa Barat masa itu berada dalam kegelapan, yang dapat kita lihat dari
susunan keluarganya, yang memang mirip-mirip susunan manusia primitif.
Rumawi sebagai pemegang undang-undang masa itu, sebagai yang perkasa
dan berkuasa, satu-satunya kerajaan yang paling kuat menyaingi Persia,
menempatkan kedudukan kaum wanita dibandingkan dengan prianya, masih
dibawah kedudukan wanita Arab, sekalipun yang di pedalaman. Menurut
undang-undang Rumawi masa itu, wanita adalah harta benda milik
laki-laki, dapat diperlakukan sehendak hati, ia berkuasa dari soal hidup
sampai matinya, dipandang persis seperti budak. Dalam pandangan
undang-undang Rumawi wanita tidak berbeda dengan budak. Ia menjadi
milik bapanya, kemudian milik suaminya, lalu milik anaknya. Pemilikan
demikian ini persis seperti memiliki budak atau seperti memiliki
binatang dan benda mati. Wanita dipandangnya hanya sebagai pembangkit
nafsu berahi. Ia tidak punya kuasa apa-apa terhadap sifat
kebetinaannya, hingga mau tidak mau ia harus pura-pura berbuat sopan
sedapat mungkin, dan ini tetap berlaku demikian selama berabad-abad
kemudian dari apa yang sudah kita gambarkan tentang keadaan di jazirah
Arab itu. Padahal Isa Almasih a.s. cukup hormat dan lemah-lembut kepada
wanita. Beberapa orang pengikutnya merasa heran melihat dia begitu
baik terhadap Maryam Magdalena, ketika ia berkata: "Barangsiapa dari
kamu yang tidak berdosa, lemparilah dia dengan batu."
Tetapi Eropa yang sudah menganut Kristen
tetap seperti dulu juga, seperti Eropa yang masih pagan, sangat
merendahkan wanita. Hubungannya dengan pria bukan hanya dilihatnya
sebagai hubungan jantan dan betina saja, bahkan dianggapnya sebagai
hubungan perbudakan dan sangat hina, sehingga pada masa-masa tertentu
ahli-ahli agamanya masih bertanya-tanya: Apakah wanita itu punya ruh
yang akan dapat diadili, atau seperti hewan saja tanpa ruh dan tidak
ada pengadilan Tuhan kepadanya dan tidak ada tempat pula di kerajaan
Tuhan.
Muhammad dan reformasi
sosial
Dengan wahyu yang
diterimanya Muhammad dapat menentukan, bahwa takkan ada perbaikan
masyarakat tanpa ada kerja-sama pria dan wanita, dalam arti saling
bantu membantu sebagai saudara yang penuh kasih-sayang. Hak dan
kewajiban wanita sama, dengan cara yang sopan, hanya laki-laki mempunyai
kelebihan atas mereka itu. Tetapi pelaksanaannya secara sekaligus
tidak mudah. Betapa pun tebalnya iman orang-orang Arab yang menjadi
pengikutnya, namun mengajak dengan perlahan-lahan dan tanpa menyinggung
perasaan, akan lebih mempertebal iman mereka serta memperbanyak
pendukung. Demikian juga dalam setiap reformasi sosial, yang oleh Tuhan
diwajibkan kepada kaum Muslimin. Bahkan dalam kewajiban-kewajiban
agama sendiri: dalam sembahyang, puasa, zakat dan haji, demikian juga
dalam larangan-larangannya, seperti minuman-minuman keras, judi, daging
babi dan sebagainya.
Sehubungan dengan reformasi sosial ini
serta ketentuan hubungan pria dan wanita, oleh Muhammad telah dimulai
dengan contoh yang diberikannya melalui dirinya dengan isteri-isterinya
yang disaksikan sendiri oleh semua kaum Muslimin. Masalah hijab
(tabir) bagi isteri-isteri Nabi misalnya, sebelum perang Ahzab
(Khandaq) tidak diwajibkan. Demikian juga pembatasan kepada empat orang
isteri dengan syarat adil ditentukannya baru sesudah perang Ahzab,
bahkan lebih dari setahun setelah perang Khaibar. Bagaimanakah Nabi
dapat membina hubungan yang kuat antara laki-laki dan wanita atas dasar
yang sehat, sebagai pengantar kepada adanya persamaan yang memang
menjadi tujuan Islam itu? Ya, suatu persamaan yang menjadikan hak dan
kewajiban wanita itu sama, dengan cara yang sopan sedang laki-laki
mempunyai kelebihan atas mereka itu.
Pada mulanya hubungan pria dan wanita di
kalangan Muslimin, seperti di kalangan Arab lainnya - sebagaimana sudah
kita sebutkan - terbatas hanya pada hubungan jantan dan betina.
Mempertontonkan diri dan memamerkan perhiasan (berdandan) dengan cara
yang akan membuat laki-laki itu terangsang oleh kaum wanita setiap ada
kesempatan, berarti akan saling menambah nafsu berahi antara laki-laki
dengan perempuan. Sebaliknya, hal yang akan lebih dapat membatasi
antara kedua belah pihak itu berarti akan lebih mendekatkan orang pada
dasar kemanusiaan yang lebih tinggi, dasar persamaan jiwa dalam
beribadat, yang hanya kepada Allah semata-mata.
Islam melarang mempertontonkan
diri
Dengan adanya
kelompok-kelompok Yahudi dan orang-orang munafik dalam Kota, serta
sikap permusuhan mereka terhadap Muhammad dan terhadap kaum Muslimin,
nyatanya mereka itu sampai berani pula menggoda wanita-wanita Islam
yang akhirnya sampai mengakibatkan dikepungnya Banu Qainuqa' seperti
yang sudah kita lihat. Meningkatnya gangguan-gangguan kepada
wanita-wanita Islam itu telah menimbulkan problema-problema baru yang
tidak seharusnya ada. Sekiranya wanita-wanita Islam itu tidak sampai
memamerkan diri berdandan ketika mereka keluar rumah, niscaya mereka
akan lebih mudah dikenal orang dan dengan demikian mereka tidak akan
diganggu. Adanya problema-problema itu pun akan dapat dikurangi dan
persamaan antara kedua jenis yang dikehendaki oleh Islam itupun dalam
pelaksanaannya akan merupakan suatu permulaan yang baik pula - dengan
tanpa dirasakan oleh kaum Muslimin - baik pria dan wanita - akan adanya
suatu masa peralihan dalam konsepsi yang belum dibiasakan itu.
Dalam situasi yang semacam itulah firman
Tuhan ini datang:
"Dan mereka yang mengganggu kaum laki-laki
dan wanita yang sudah beriman, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat,
orang-orang itu sebenarnya telah berbuat kebohongan dan dosa
terang-terangan. Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,
puteri-puterimu dan isteri-isteri orang-orang beriman, hendaklah mereka
itu menutup tubuh dengan baju dalam. Dengan demikian mereka akan lebih
mudah dikenal, dan karenanya mereka tidak akan diganggu. Sungguh Tuhan
adalah Pengampun dan Penyayang. Kalau pun orang-orang munafik,
orang-orang yang dalam hatinya berpenyakit dan orang-orang yang suka
menghasut di dalam kota tiada juga berhenti (menyerang kamu) niscaya
akan Kami dorong engkau menyerang mereka; kemudian mereka akan menjadi
tetanggamu di tempat itu hanya sementara saja. Mereka sudah terkutuk.
Di mana saja mereka berada, mereka ditangkap, dan dibunuh secara tidak
kenal ampun. Begitulah ketentuan Tuhan terhadap mereka yang telah
lampau, dan tidak akan ada ketentuan Tuhan itu yang berubah-ubah."
(Qur'an 33: 58-62)
Dengan pendahuluan demikian itu, tidak
sulit bagi kaum Muslimin dalam meninggalkan adat kebiasaan Arab dahulu
kala itu. Demikian juga yang menjadi tujuan hukum Islam dengan
penyusunan masyarakat atas dasar keluarga yang bersih dari segala hama
sehingga masalah zina itu dianggap sebagai kejahatan besar, telah
mempermudah setiap Muslim untuk menilai, bahwa wanita yang
mempertontonkan diri kepada pria adalah suatu perbuatan tercela, sebab
hubungan laki-laki dengan wanita tidak mengijinkan hal yang serupa itu.
Dalam hal ini Tuhan berfirman:
"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman
supaya mereka menahan penglihatan dan menjaga kehormatan mereka. Yang
demikian akan lebih bersih buat mereka. Sungguh Tuhan mengetahui benar
apa yang kamu perbuat. Juga katakanlah kepada wanita-wanita yang
beriman supaya mereka menahan penglihatan, memelihara kehormatan dan
tiada menonjolkan perhiasannya (dandanan) selain yang memang nyata
kelihatan. Hendaklah mereka menyampaikan tutup itu ke bagian dada; dan
jangan menonjolkan dandanan itu selain kepada suami, bapa, bapa suami,
anak-anak saudara, anak-anak suaminya, saudara-saudara atau anak-anak
saudara, anak-anak suaminya, saudara-saudara atau anak-anak saudara,
anak-anak saudara perempuan atau sesama wanita, yang menjadi miliknya
atau pelayan-pelayan laki-laki yang sudah tidak punya keinginan atau
anak-anak yang belum mengerti aurat wanita dan jangan pula
menggerak-gerakkan kaki supaya perhiasannya yang tersembunyi diketahui
orang. Orang-orang beriman, hendaklah kamu sekalian bertaubat kepada
Allah kalau-kalau kamu berhasil." (Qur'an 24: 30-31)
Demikianlah prakteknya dalam Islam.
Hubungan pria wanita itu berkembang setapak demi setapak meninggalkan
yang lama. Jadi hubungan jantan-betina yang dikuatirkan akan
menimbulkan fitnah, tak ada lagi. Sedang mengenai keperluan hidup
sehari-hari lainnya dan yang mengenai segala hubungan pria-wanita, maka
dalam semuanya adalah sama, semua hamba Allah, semua bekerja-sama
untuk kebaikan dan untuk bertaqwa kepada Allah. Apabila ada pihak yang
sudah terlanjur mau membangkitkan nafsu kelamin, baik laki-laki atau
wanita, maka orang itu harus bertaubat kepada Tuhan. Tuhan Maha Pemurah,
dan Pengampun.
Akan tetapi untuk mengubah semua itu, untuk
mengalihkan mental Arab dari semua pendirian lama - seperti halnya
dengan pendirian tentang keimanan kepada Allah Yang Maha Esa dan
meninggalkan kepercayaan syirik - ke dalam mental yang baru, tidak akan
cukup dalam waktu yang begitu singkat. Hal ini sudah wajar sekali.
Benda yang sudah diacu dalam bentuk tertentu misalnya, tidak akan mudah
mengubahnya, kalau tidak dengan sedikit demi sedikit. Dan bagaimana
pun diusahakan mengubahnya namun yang akan dapat berubah tidak seberapa
juga. Begitulah halnya hidup manusia yang hidup serba-benda
(materialistis). Ia dibentuk oleh adat-kebiasaan yang sudah
turun-temurun, oleh tradisi lingkungan dalam soal-soal hidupnya.
Apabila dikehendaki adanya sesuatu perubahan, maka dalam memindahkan
perubahan itu harus dengan berangsur-angsur, dan perubahan yang
berangsur-angsur ini tidak akan terjadi kalau tidak mengubah
diri-sendiri. Adakalanya orang dapat mengubah dalam arti mental dari
satu segi saja dengan menghilangkan rintangan yang mungkin ada di
hadapannya. Hal ini sudah dapat dilakukan Islam terhadap kaum Muslimin
sehubungan dengan tauhid serta iman kepada Allah, kepada Rasul dan hari
kemudian. Akan tetapi masih banyak segi-segi mental Arab itu yang
belum lagi dapat di tembus, terutama dalam soal-soal hidup kebendaan.
Oleh karenanya keadaan kaum Muslimin ketika itu tetap tidak begitu jauh
dari suasana sebelum Islam. Mereka serba lamban, karena memang sudah
menjadi bawaan cara hidup padang pasir, dan sudah terbiasa pula suka
bicara dengan wanita.
Rumah tangga Nabi
Jadi apa yang sudah kita kemukakan mengenai perubahan
yang dibawa oleh agama baru itu terhadap pandangan hidup mereka
tentang hubungan laki-laki dengan perempuan, namun selain itu keadaan
mereka masih seperti dahulu juga, atau mirip-mirip begitu. Banyak
diantara mereka itu yang mau begitu saja memasuki rumah Nabi, kemudian
mau duduk-duduk dan mau mengobrol dengan Nabi dan dengan
isteri-isterinya. Padahal persoalan-persoalan kenabian yang begitu besar
lebih penting daripada membiarkan Muhammad sibuk menghadapi
pembicaraan mereka yang datang mengunjunginya itu, serta mereka yang
mau mengobrol dengan isteri-isterinya dan yang kemudian
pembicaraan-pembicaraan mereka itu dibawa kepadanya. Oleh karena itu
AIlah menghendaki supaya Nabi dihindarkan dari soal-soal kecil semacam
itu, maka ayat-ayat berikut ini datang:
"Orang-orang yang beriman! Janganlah kamu
masuk ke dalam rumah Nabi, kecuali bila diijinkan dalam menghadapi
suatu hidangan makan yang bukan sengaja mau mengintip-intip untuk itu.
Tetapi bila kamu diundang, hendaklah kamu masuk. Maka apabila sudah
selesai hendaklah kamu pergi, dan jangan mau enak-enak mengobrol.
Sesungguhnya yang demikian itu sangat mengganggu Nabi, tetapi dia malu
kepada kamu, sedang Allah tidak akan malu dalam hal kebenaran. Dan
apabila ada sesuatu yang kamu minta dari mereka (isteri-isteri Nabi),
mintalah dari belakang tirai. Hal ini akan lebih bersih dalam hati kamu
dan hati mereka. Tiada semestinya kamu akan mengganggu Rasulullah, juga
jangan pula kamu akan mengawini janda-jandanya setelah ia wafat; sebab
yang demikian itu dipandang Tuhan sebagai (dosa) yang besar." (Qur'an,
33: 53)
Seperti halnya ayat-ayat ini turun
ditujukan kepada orang-orang yang beriman dan yang juga sebagai
bimbingan kepada mereka mengenai kewajiban mereka terhadap Nabi dan
isteri-isterinya, juga kedua ayat berikut ini pun turun ditujukan
kepada isteri-isteri Nabi dalam hal yang sama pula:
"Wahai isteri-isteri Nabi. Kamu tidak sama
dengan wanita-wanita lain. Kalau kamu berbakti (kepada Allah),
janganlah kamu berlemah-lembut dalam kata-kata, nanti timbul
keserakahan orang yang hatinya berpenyakit (jahat). Tetapi katakanlah
dengan kata-kata yang baik-baik saja. Tinggal sajalah kamu di dalam
rumah. Jangan kamu mempertontonkan diri seperti kelakuan orang zaman
jahiliah dahulu. Lakukanlah sembahyang, keluarkan zakat serta patuh
kepada Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan noda
dari kamu, keluarga Nabi, dan membersihkan kamu sungguh-sungguh."
(Qur'an, 33: 32-33)
Persiapan kehidupan sosial untuk
masyarakat Islam
Demikian
inilah persiapan kehidupan sosial yang baru yang dikehendaki oleh Islam
untuk suatu masyarakat umat manusia. Landasannya ialah mengubah
sama-sekali pandangan masyarakat itu akan hubungan laki-laki dengan
wanita. Ia menghendaki dihapusnya segala tanggapan tentang sex (libido)
yang menguasai pikiran manusia selama ini, dan dalam segala hal
menganggapnya sebagai satu-satunya yang berkuasa. Dengan demikian yang
dikehendaki ialah mengarahkan masyarakat itu sesuai dengan tujuan hidup
umat manusia yang lebih tinggi dengan tidak mengurangi kesenangan
hidupnya, yaitu kesenangan hidup yang tidak akan mengurangi pula
kebebasannya untuk berkeinginan - apalagi sampai akan menghilangkan
kebebasan untuk berkeinginan ini - dan yang akan melahirkan hubungan
manusia dengan semesta alam. Dari tingkat hidup mengolah tanah, dari
tingkat hidup usaha perindustrian dan perdagangan, yang bagaimana pun,
ke tingkat yang lebih tinggi, setaraf dengan kehidupan orang-orang
suci, dan akan berkomunikasi dengan cara malaikat. Puasa, salat, zakat
yang telah ditentukan oleh Islam, ialah alat untuk mencapai taraf ini;
yang akan mencegah perbuatan keji, kemungkaran serta pelanggaran.
Sekaligus ia akan membersihkan jiwa dan hati orang dari segala penyakit
menghambakan diri selain kepada Allah, disamping memperkuat tali
persaudaraan antara sesama orang beriman, memperkuat hubungan antara
manusia dengan segala yang ada dalam semesta alam ini.
Penyusunan suatu kehidupan sosial secara
berangsur-angsur sebagai suatu persiapan kearah transisi besar yang
telah disediakan oleh Islam bagi umat manusia ini, tidak mengurangi
pihak Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya dalam menantikan
kesempatan hendak menghancurkan Muhammad. Tetapi juga Muhammad tidak
kurang pula selalu waspada. Cepat-cepat ia bergerak untuk menanamkan
rasa takut dalam hati pihak musuh, bila dianggap perlu.
Itu sebabnya, enam bulan kemudian setelah
Banu Quraiza dapat dihancurkan, ia sudah merasakan adanya suatu gerakan
lain di sekitar Mekah. Terpikir olehnya akan membalas kematian Khubaib
b. 'Adi dan kawan-kawannya yang telah dibunuh oleh Banu Lihyan di
Raji' dua tahun yang lalu itu. Akan tetapi maksudnya ini tidak
diumumkan, kuatir pihak musuh akan segera berjaga-jaga. Untuk dapat
menyergap pihak musuh ia pura-pura pergi ke Syam. Dengan membawa
perlengkapan perang ia berangkat menuju ke arah utara.
Ekspedisi Banu Lihyan
Setelah yakin sekali bahwa Quraisy dan
sekutu-sekutunya yang berdekatan tak ada yang menyadari maksudnya, ia
pun membelok ke arah Mekah dengan berjalan lebih cepat lagi. Tetapi
sesampainya di perkampungan Banu Lihyan di 'Uran, masyarakat setempat
telah melihatnya ketika pertama kali ia menyusur jalan ke selatan. Dari
mereka inilah Banu Lihyan mengetahui bahwa ia menuju ke tempat mereka.
Mereka pun segera berlindung ke puncak-puncak bukit dengan membawa
harta-benda yang ada. Nabi tidak sampai berhasil menyergap mereka.
Ketika itu ia lalu menugaskan Abu Bakr
dengan membawa seratus orang pasukan menuju 'Usfan2 tidak jauh dari
Mekah. Rasulullah sendiri kemudian kembali ke Medinah. Ketika itu panas
musim sedang sampai di puncaknya, sehingga Nabi berkata: "Yang kembali
dan yang bertobat jika dikehendaki Allah kiranya kepada Tuhan juga
kami memuji syukur. Saya berlindung kepada Allah dari perjalanan yang
sangat meletihkan ini, serta kedukaan karena diri kembali dari
perjalanan3 dengan keburukan yang tampak pada keluarga dan harta-benda."
Pembersihan Banu Qarad
Baru beberapa malam saja Muhammad kembali ke Medinah,
tiba-tiba datang 'Uyaina b. Hishn menyerang pinggiran kota itu. Di
tempat tersebut ada beberapa ekor unta yang digembalakan, dijaga oleh
seorang laki-laki dengan isterinya. Laki-laki itu oleh 'Uyaina dan
kawan-kawannya dibunuh, unta diambil dan perempuan itu dibawa. Mereka
segera pergi dengan perkiraan bahwa mereka telah dapat menyelamatkan
diri dari pengejaran. Tetapi sebenarnya Salama b. 'Amr bin'l-Akwa' yang
sudah lebih dulu memacu kudanya menuju hutan dengan bersenjatakan
panah dan busur, ketika melintasi Thaniat'l-Wada' dan menjenguk ke
bawah dari arah bukit Sal' rombongan yang sedang menggiring unta dan
membawa wanita itu dilihatnya. Ketika itu pula ia berteriak meminta
bantuan sambil terus mengikuti jejak rombongan itu. Ia melepaskan anak
panahnya ke arah mereka, setelah ia berada agak lebih dekat. Dalam pada
itu tiada henti-hentinya ia berteriak. Dan teriakan Salama itu
akhirnya sampai juga kepada Muhammad. Maka kemudian ia pun
memanggil-manggil penduduk Medinah: Ada bahaya! Ada bahaya!
Seketika itu juga pahlawan-pahlawan kota
datang dari segenap penjuru. Setelah mendapat perintah mereka pun
berangkat mengikuti jejak gerombolan itu. Dia sendiri mempersiapkan
pasukannya lalu berangkat menyusul mereka. Ia berhenti di sebuah gunung
di bilangan Dhu Qarad.
Sementara itu 'Uyaina dan anak buahnya
sudah mempercepat langkah, ingin lekas-lekas bergabung dengan Ghatafan
dan melepaskan diri dari pengejaran Muslimin. Akan tetapi pasukan
Medinah berhasil mencapai barisan belakang mereka. Sebahagian unta itu
dapat diselamatkan kembali dari tangan mereka. Kemudian Muhammad datang
menyusul dan memberikan bantuannya. Wanita beriman yang dibawa oleh
orang-orang Arab itu pun selamat pula. Ada beberapa orang dari
sahabat-sahabat Nabi, terdorong oleh rasa panas hati, ingin terus
mengejar 'Uyaina. Tetapi dilarang oleh Rasulullah, sebab sudah
diketahuinya bahwa 'Uyaina dan anak buahnya sudah sampai ke tempat
Ghatafan dan berlindung kepada mereka.
Ekspedisi menghadapi
Banu'l-Mushtaliq
Bila kaum
Muslimin kemudian kembali ke Medinah, isteri penjaga itu pun datang
pula menyusul di atas seekor unta kepunyaan kaum Muslimin. Wanita itu
sudah bernadar, bahwa kalau unta itu dapat diselamatkan, akan
disembelihnya seekor sebagai kurban buat Tuhan. Tetapi setelah nadarnya
disampaikan kepada Nabi' Nabi berkata: "Suatu balasan yang buruk
sekali, Tuhan sudah mengantarkan engkau dan menyelamatkan engkau dengan
unta itu, lalu unta itu yang akan kausembelih. Nadar dengan berdosa
kepada Tuhan tidak berlaku, juga atas sesuatu yang tidak kaupunyai."
Sesudah itu Muhammad tinggal di Medinah
hampir dua bulan sudah. Kemudian terjadi suatu ekspedisi terhadap Banu
Mushtaliq di Muraisi' - suatu ekspedisi yang telah dijadikan bahan
studi oleh setiap ahli sejarah dan penulis sejarah hidup Nabi. Soalnya
bukan karena ekspedisi itu sangat penting, atau karena kedua belah
pihak - Muslimin dan musuhnya - bertempur mati-matian sampai melampaui
batas, tetapi karena kenyataan adanya malapetaka yang kemudian hampir
menjalar kedalam tubuh Muslimin sendiri kalau tidak segera Rasul
mengambil langkah yang sangat baik sekali, tegas dan meyakinkan; juga
karena kemudian Rasul kawin dengan Juwairiah bt. al-Harith, dan karena
ekspedisi ini telah pula menimbulkan hadith'l-ifk - peristiwa
kebohongan - tentang diri Aisyah. Peristiwa ini telah menempatkannya
kedalam persoalan iman dan kekuatan hati - sementara usianya masih
enambelas tahun - sehingga segalanya tidak akan berdaya, hanya karena
keagungan iman dan kekuatan hati itu jugalah.
Bahwa kegiatan Banu Mushtaliq - yang
merupakan bagian dari Khuza'a - yang telah mengadakan persepakatan
dalam perkampungan mereka di dekat Mekah, beritanya telah sampai pula
kepada Muhammad. Mereka sedang mengerahkan segala potensi dengan maksud
hendak membunuh Muhammad dengan dipimpin oleh komandan mereka
Al-Harith b. Abi Dzirar. Rahasia ini diperoleh Muhammad dari salah
seorang orang badwi. Maka iapun cepat-cepat berangkat sementara mereka
sedang lengah, seperti biasanya bila ia menghadapi musuh. Pimpinan
pasukan Muhajirin di tangan Abu Bakr dan pimpinan pasukan Anshar di
tangan Sa'd b. 'Ubada. Pihak Muslimin ketika itu sudah berada di sebuah
pangkalan air yang bernama Muraisi', tidak jauh dari wilayah Banu
Mushtaliq. Kemudian Banu Mushtaliq dikepung. Pihak-pihak yang tadinya
datang hendak memberikan pertolongan sekarang mereka sudah lari. Dari
Banu Mushtaliq sepuluh orang terbunuh' dari Muslimin seorang, konon
bernama Hisyam b. Shubaba, dibunuh oleh salah seorang dari Anshar, yang
keliru dikira dari pihak musuh.
Fitnah Abdullah b.
Ubayy
Setelah terjadi sedikit
saling hantam dengan panah, tak ada jalan lain buat Banu Mushtaliq
mereka harus menyerah dibawah tekanan pihak Muslimin yang kuat dan
bergerak cepat itu. Mereka dibawa sebagai tawanan perang, begitu juga
wanita mereka, unta dan binatang ternak yang lain. Dalam pasukan
tentara itu Umar ibn'l-Khattab mempunyai orang upahan yang bertugas
menuntunkan kudanya. Selesai pertempuran orang ini pernah berselisih
dengan salah seorang dari kalangan Khazraj karena soal air. Mereka jadi
berkelahi dan sama-sama berteriak. Pihak Khazraj berkata:
"Saudara-saudara Anshar!" Sedang orang sewaan Umar berkata pula:
"Saudara-saudara Muhajirin!"
Teriakan demikian itu terdengar juga oleh
Abdullah b. Ubayy, yang ketika itu bersama-sama dengan orang-orang
munafik turut pula dalam ekspedisi dengan harapan akan beroleh bagian
rampasan perang. Dendamnya kepada pihak Muslimin dan kepada Muhammad
segera timbul. Dalam hal ini ia berkata kepada kawan-kawannya:
"Di kota kita ini sudah banyak kaum
Muhajirin. Penggabungan kita dengan mereka akan seperti kata
peribahasa: 'Membesarkan anak harimau.'4 Sungguh, kalau kita sudah
kembali ke Medinah, orang yang berkuasa akan mengusir orang yang lebih
hina."
Kemudian kepada golongannya yang hadir
waktu itu ia berkata: "Inilah yang telah kamu perbuat sendiri. Kamu
benarkan mereka tinggal di negerimu ini, dan kamu bagi harta-bendamu
dengan mereka. Demi Allah, kalau apa yang ada pada kamu itu kamu
pertahankan, pasti mereka akan beralih ke tempat lain."
Percakapannya itu dibawa orang kepada
Rasulullah, yang ketika itu baru selesai menghadapi musuh. Ketika itu
Umar ibn'l-Khattab hadir. Mendengar itu Umar marah sekali.
"Perintahkan kepada Bilal supaya
membunuhnya," katanya.
Seperti biasanya, disini Nabi
memperlihatkan sikap sebagai seorang pemimpin yang sudah matang,
bijaksana dan punya pandangan jauh. Berpaling kepada Umar ia berkata:
"Umar bagaimana kalau sampai menjadi
pembicaraan orang dan orang mengatakan, bahwa Muhammad membunuh
sahabat-sahabatnya sendiri?"
Akan tetapi dalam pada itu ia sudah
mempertimbangkan, bahwa soalnya akan jadi rumit sekali kalau tidak
segera diambil langkah yang tegas. Oleh karena itu diperintahkannya
agar diumumkan untuk segera berangkat dalam waktu yang tidak biasanya
kaum Muslimin meninggalkan tempat itu. Berita yang disampaikan orang
kepada Nabi itu sampai juga kepada Ibn Ubayy. Cepat-cepat ia menemui
Nabi hendak membantah adanya berita yang dihubungkan kepadanya itu. Ia
bersumpah atas nama Tuhan, bahwa dia tidak mengatakan dan tidak pernah
bicara begitu. Tetapi ini tidak mengubah keputusan Muhammad hendak
meninggalkan tempat itu. Bahkan sepanjang hari hingga sore dan
sepanjang malam hingga pagi harinya lagi terus-menerus ia memimpin
perjalanan itu hingga pada pertengahan hari kedua tatkala terik
matahari sudah terasa sangat mengganggu.
Setelah sampai, karena sudah sangat lelah,
begitu badan mereka menyentuh lantai, mereka pun segera tertidur.
Karena sangat lelah orang sudah lupa cakap Ibn Ubayy. Sesudah itu
mereka pulang ke Medinah dengan membawa rampasan perang dan orang-orang
tawanan Banu Mushtaliq, diantaranya Juwairia bint'l-Harith b. Abi
Dzirar, pemimpin dan komandan daerah yang sudah dikalahkan itu.
Kedengkian Ibn Ubayy kepada
Nabi
Kaum Muslimin sudah
sampai di Medinah. Abdullah ibn Ubayy pun sudah di sana. Ia sudah tidak
pernah tenang, hatinya gelisah selalu, terbawa oleh rasa dengki kepada
Muhammad dan kepada Muslimin. Pura-pura ia sebagai orang Islam, bahkan
sebagai orang beriman, meskipun masih gigih ia membantah berita yang
bersumber dari dia ditujukan kepada Rasulullah di Muraisi' itu. Pada
waktu itulah Surah Munafiqin ini turun: "Mereka itulah yang berkata:
"Jangan memberikan bantuan apa-apa kepada mereka yang di sekitar
Rasulullah, supaya mereka berpisah." Padahal segala perbendaharaan
langit dan bumi milik Allah. Tetapi orang-orang munafik itu tidak
mengerti. Kata mereka: "Kalau kita sudah kembali ke Medinah, orang yang
berkuasa akan mengusir orang yang lebih hina." Padahal sebenarnya
kekuasaan itu milik Allah dan Rasul-Nya beserta orang-orang yang
beriman, hanya saja orang-orang munafik itu tidak mengetahui." (Qur'an,
63: 7-8)
Perjuangan batin yang
berat
Dengan demikian lalu ada
orang-orang yang mengira bahwa ayat-ayat itu merupakan hukuman terhadap
Abdullah bin Ubayy, dan Muhammad pasti akan memerintahkan supaya ia
dibunuh. Ketika itu Abdullah b. Abdullah b. Ubayy, yang sudah menjadi
seorang Muslirn yang baik, datang dengan mengatakan:
"Rasulullah, saya mendengar tuan ingin
supaya Abdullah b. Ubayy itu dibunuh. Kalau memang begitu, tugaskanlah
pekerjaan itu kepada saya. Akan saya bawakan kepalanya kepada tuan.
Orang-orang Khazraj sudah mengetahui, tak ada orang yang begitu
berbakti kepada ayahnya seperti yang saya lakukan. Saya kuatir tuan
akan menyerahkan tugas ini kepada orang lain. Kalau sampai orang lain
itu yang membunuhnya, maka saya takkan dapat menahan diri, membiarkan
orang yang membunuh ayah saya itu berjalan bebas. Tentu akan saya bunuh
dia dan berarti saya membunuh orang beriman yang membunuh orang kafir.
Maka saya akan masuk neraka."
Begitulah kata-kata Abdullah b. Abdullah b.
Ubayy kepada Muhammad. Saya rasa tak ada suatu kata-kata yang lebih
dalam dari ucapannya itu dengan begitu kuat meskipun singkat dalam
melukiskan suasana batin yang sedang gelisah, batin yang dibawa oleh
pengaruh pergolakan yang dahsyat sekali dalam jiwanya: gelisah karena
pengaruh rasa berbakti kepada ayah dan pengaruh iman yang
sungguh-sungguh disamping rasa harga diri sebagai orang Arab serta rasa
cintanya akan kesejahteraan Muslimin supaya jangan tirnbul dendam yang
berlarut-larut.
Inilah perasaan seorang anak yang melihat
ayahnya akan dibunuh. Dia tidak minta kepada Nabi supaya ayahnya jangan
dibunuh, sebab dia Nabi, dia akan tunduk kepada perintah Tuhan, dan
yakin pula akan keingkaran ayahnya. Tetapi karena kuatir akan sampai
menuntut balas kepada orang yang kelak akan membunuh ayahnya yang
diharuskan oleh rasa baktinya kepada ayah dan oleh rasa kehormatan dan
harga diri - maka dia sendirilah yang akan memikul beban itu, dia
sendiri yang akan membunuh ayahnya; kepalanya akan dibawanya sendiri
kepada Nabi, betapapun itu akan sangat menyayat hati dan perasaannya.
Nabi memaafkan Ibn Ubayy
Dengan imannya itu ia merasa agak mendapat hiburan
juga menghadapi hal luar biasa yang menekan perasaan itu. Ia kuatir
akan masuk neraka apabila ia membunuh seorang mukmin yang telah
mendapat perintah Nabi membunuh ayahnya. Sungguh suatu perjuangan yang
sangat dahsyat antara iman di satu pihak dengan perasaan dan moral di
pihak lain. Suatu perjuangan batin yang sungguh fatal menghunjam ke
dalam hati, sungguh tragis! Tetapi, tahukah kita betapa jawaban Nabi
kepada Abdullah setelah mendengar itu?
"Kita tidak akan membunuhnya. Bahkan kita
harus berlaku baik kepadanya, harus menemaninya baik-baik selama dia
masih bersama dengan kita."
Memaafkan. Sungguh indah dan agung maaf
itu. Muhammad berlaku begitu baik kepada orang yang telah menghasut
penduduk Medinah supaya memusuhinya dan memusuhi sahabat-sahabatnya.
Biarlah sikap baiknya dan kemaafannya itu memberi bekas yang lebih
dalam daripada kalau ia menjatuhkan hukuman kepada orang itu.
Sejak itu apabila Abdullah b. Ubayy mencoba
mau bermain api, golongannya sendiri menegurnya, menyalahkannya dan
membuatnya ia merasa bahwa sisa hidupnya itu dari pemberian Muhammad.
Tatkala pada suatu hari Nabi sedang bicara-bicara dengan Umar mengenai
masalah-masalah kaum Muslimin, sampai juga menyebut-nyebut Abdullah b.
Ubayy' begitu juga tentang golongannya sendiri yang menegurnya dan
menyalahkannya itu.
"Umar, bagaimana pendapatmu," kata
Muhammad. "Ya, kalau kau bunuh dia ketika kaukatakan kepadaku supaya
dibunuh saja, tentu akan jadi gempar karenanya. Kalau sekarang kusuruh
bunuh tentu akan kaubunuh."
"Sungguh sudah saya ketahui, bahwa perintah
Rasulullah lebih besar artinya daripada perintah saya."
Tertinggal tak terasa
Semua peristiwa itu terjadi setelah kaum Muslimin -
dengan membawa tawanan dan rampasan perang - kembali ke Medinah. Akan
tetapi lalu ada suatu peristiwa yang pada mulanya tidak memberi bekas
apa-apa, tetapi kemudian menjadi pembicaraan yang panjang juga. Soalnya
ialah Nabi mengadakan undian terhadap isteri-isterinya bila akan
berangkat mengadakan ekspedisi. Barangsiapa yang keluar namanya maka
dialah yang ikut serta. Sorenya pada waktu mau mengadakan ekspedisi
terhadap kepada Banu Mushtaliq, maka yang keluar ialah nama Aisyah.
Jadi dia yang dibawa. Aisyah adalah seorang wanita yang berperawakan
kecil, ringan. Bila pelangkin sudah diantarkan orang sampai di depan
pintu rumahnya, dia pun naik. Lalu mereka membawanya pada punggung
unta. Karena ringannya, mereka hampir tidak dapat merasakan.
Selesai Nabi dari tugas perjalanan itu,
dengan rombongannya ia berangkat lagi meneruskan perjalanan yang
panjang dan sangat meletihkan seperti sudah kita sebutkan. Sesudah itu
ia menuju Medinah. Sampai di suatu tempat dekat kota ia berhenti dan
bermalam di tempat itu. Kemudian diumumkan kepada rombongan, perjalanan
akan diteruskan lagi.
Karena hendak menunaikan hajat, Aisyah
ketika itu sedang keluar dari kemah Nabi, sedang pelangkin sudah
menunggu di depan kemah, menantikan ia masuk kembali. Aisyah mengenakan
seutas kalung yang ketika sedang menyelesaikan keperluannya, kalung
itu lepas dari lehernya. Sesudah siap kembali ia akan berangkat,
dirabanya kalung itu sudah tidak ada. Ia kembali menyusur jalan sambil
mencari-carinya. Dan barangkali lama juga ia mencarinya, baru kemudian
benda itu diketemukannya kembali. Mungkin sementara itu ia terlena
karena sudah begitu lelah selepas perjalanan itu. Bila ia kembali ke
markas untuk kemudian naik ke atas pelangkin, ternyata pelangkin itu
sudah dipasang kembali di punggung unta dengan perkiraan bahwa dia
sudah berada didalamnya lalu mereka berangkat juga dengan anggapan
bahwa mereka sedang membawa Umm'l-Mu'minin, isteri yang sangat dekat ke
dalam hati Nabi. Dalam markas itu orang yang akan dapat ditanyai tidak
ada. Dia tidak merasa takut bahkan dia yakin bahwa apabila rombongan
itu nanti mengetahui dia tidak ada, tentu mereka akan kembali ke
tempatnya semula. Jadi lebih baik dia tidak meninggalkan tempat itu;
daripada mengarungi padang pasir tanpa pedoman; ia akan sesat karenanya.
Tanpa merasa takut, dengan berselimutkan pakaian luarnya ia berbaring
di tempat itu, sambil menunggu orang yang akan datang mencarinya.
Sementara ia sedang berbaring itu, Shafwan
bin'l-Mu'attal lewat di tempat tersebut, yang juga terlambat dari
rombongan tentara karena harus menunaikan urusannya pula. Ia sudah
pernah melihatnya sebelum ada ketentuan hijab terhadap isteri-isteri
Nabi. Setelah melihatnya, ia terkejut sekali dan surut sambil berkata:
"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un! Isteri Rasulullah s.a.w.? Kenapa
sampai tertinggal? Semoga rahmat Tuhan juga." Aisyah tidak menjawab.
Didekatkannya untanya itu dan dia sendiri mundur sambil berkata:
"Naiklah."
Setelah Aisyah naik kemudian ia berangkat
dengan unta itu cepat-cepat hendak menyusul rombongan yang lain. Tetapi
tidak terkejar juga, karena ternyata mereka mempercepat perjalanan,
ingin segera sampai di Medinah, agar dapat beristirahat setelah
mengalami perjalanan yang cukup meletihkan, yang juga diperintahkan
oleh Rasulullah guna menghindarkan fitnah yang hampir-hampir terjadi
akibat perbuatan Ibn Ubayy itu.
Shafwan memasuki Medinah pada siang hari
disaksikan oleh orang banyak sementara Aisyah di atas untanya. Sampai
di depan rumahnya dalam rangkaian rumah isteri-isteri Rasul, ia pun
masuk. Tak terlintas dalam pikiran orang bahwa hal ini akan dijadikan
buah bibir, atau akan menimbulkan syak karena ia terlambat dari
rombongan, juga dalam hati Rasul tidak terlintas suatu prasangka buruk
terhadap Shafwan, seorang orang mukmin yang beriman teguh.
Sebenarnya tidak perlu sampai menjadi buah
bibir; dia memasuki Medinah di depan mata orang banyak, di belakang
pasukan tentara yang juga datang dalam waktu hampir bersamaan sehingga
tidak perlu harus menimbulkan sesuatu prasangka. Dia datang disaksikan
oleh orang banyak dengan wajah bersih dan berseri-seri, tak ada
tanda-tanda yang akan menimbulkan kecurigaan. Seharusnya biarlah kota
Medinah berjalan seperti biasa. Biarlah hasil rampasan perang dan
tawanan perang Banu Mushtaliq itu dibagi-bagi antara sesama kaum
Muslimin, biarlah mereka menikmati hidup sejahtera, yang makin hari
sudah makin terasa. Iman mereka pun makin dalam menanamkan rasa harga
diri dalam menghadapi musuh, di samping adanya kesungguhan hati,
keberanian menghadapi maut demi Allah, untuk agama dan untuk kebebasan
orang lain menganut kepercayaan agamanya, kebebasan yang sebelum itu
tidak pula dikenal oleh masyarakat Arab.
Juairia bt. al-Harith
Juwairia bint'l-Harith termasuk salah seorang tawanan
perang Banu Mushtaliq. Dia memang seorang wanita cantik dan manis. Ia
jatuh menjadi bagian salah seorang Anshar. Dalam hal ini ia ingin
menebus diri, tetapi mengetahui bahwa dia puteri seorang pemuka Banu
Mushtaliq, dan ayahnya akan mampu menebus berapa saja diminta, maka
tebusan yang diminta itu cukup tinggi. Kuatir akan membawa akibat yang
melampaui batas, maka Juwairia sendiri segera pergi menemui Nabi, yang
ketika itu sedang berada di rumah Aisyah.
"Saya Juwairia puteri al-Harith bin Abi
Dzirar, pemimpin masyarakat," katanya. "Saya mengalami bencana, seperti
sudah tuan ketahui tentunya. Tetapi karena saya sudah menjadi milik si
anu, maka saya telah memajukan penawaran guna membebaskan diri saya.
Kedatangan saya kemari ingin mendapat bantuan tuan mengenai penawaran
saya itu."
"Maukah engkau dengan yang lebih baik dari
itu?" tanya Nabi
"Apa ?"
"Saya penuhi penawaranmu dan saya kawin
dengan kau."
Setelah berita itu tersiar, sebagai
penghormatan kepada semenda Rasulullah dengan Banu Mushtaliq,
tawanan-tawanan perang yang ada di tangan mereka segera mereka
bebaskan; sehingga mengenai Juwairia ini Aisyah pernah berkata: Tak
pernah saya lihat ada seorang wanita lebih besar membawa keuntungan
buat golongannya seperti dia ini.
Demikianlah sebuah sumber menyebutkan Ada
pula sumber lain yang mengatakan, bahwa al-Harith b. Abi Dzirar datang
mengunjungi Nabi hendak menebus puterinya itu, dan dia sendiri pun
masuk Islam setelah dia percaya akan ajaran Nabi, dan bahwa dia
mengambil Juwairia puterinya yang juga lalu masuk Islam seperti
ayahnya. Kemudian Muhammad meminangnya dan mengawininya, dengan mas
kawin sebesar 400 dirham.
Seterusnya sumber ketiga menyebutkan, bahwa
ayahnya tidak senang dengan perkawinan ini, bahkan dia tidak setuju,
dan bahwa yang mengawinkannya dengan Nabi ialah salah seorang
kerabatnya tanpa sekehendak ayahnya.
Setelah Muhammad kawin dengan Juwairia,
dibuatkannya rumah di samping rumah-rumah isterinya yang lain didekat
mesjid. Dengan demikian ia menjadi Ibu kaum Muslimin pula.
Sementara itu orang di luaran mulai pula
berbisik-bisik kenapa Aisyah terlambat di belakang pasukan tentara dan
datang bersama Shafwan menumpang untanya, sedang Shafwan seorang pemuda
yang tampan dan tegap.
Saudara perempuan Zainab bt. Jahsy yang
bernama Hamna, sudah mengetahui bahwa Aisyah dalam hati Muhammad
mempunyai tempat melebihi saudaranya itu. Ia segera menyebarkan
desas-desus orang tentang Aisyah ini. Ia mendapat dukungan Hassan b.
Thabit, dan Ali b. Abi Talib juga menyambutnya.
Dengan demikian Abdullah b. Ubayy merasa
mendapat tanah yang subur dalam usahanya menyebarkan bibit berita itu,
yang sekaligus merupakan obat penawar pula terhadap api kebencian yang
ada dalam hatinya. Mati-matian ia berusaha menyebar-luaskan berita itu.
Akan tetapi dalam hal ini kalangan Aus telah menentukan sikap hendak
membela Aisyah. Aisyah adalah lambang kesucian dan seorang wanita yang
berakhlak tinggi, yang patut menjadi teladan Peristiwa ini hampir saja
menjadi suatu fitnah di Medinah.
Aisyah jatuh sakit
Berita-berita ini kemudian sampai juga kepada
Muhammad. Ia jadi gelisah. Apa? Aisyah akan mengkhianatinya? Tidak
mungkin! Itu adalah perbuatan keji dan bertentangan. Dengan rasa cinta
dan kasihnya kepada Aisyah hal yang hanya didasarkan pada prasangka
semacam itu adalah suatu dosa besar. Ya. Tetapi wanita! Cih! Siapa pula
gerangan yang dapat menduga lubuk hati mereka. Lagi pula Aisyah masih
muda belia. Kalung serupa apa benar yang hilang dan dicarinya pada
malam buta serupa itu? Kenapa hal itu tidak disebut-sebut ketika mereka
masih berada di markas? Nabi sendiri masih dalam kebingungan, belum
tahu ia, akan percayakah atau tidak.
Orang tak ada yang berani menyampaikan
desas-desus itu kepada Aisyah, meskipun ia sendiri sudah merasa aneh
melihat sikap suaminya yang kaku, yang belum pernah di lihatnya dan
memang tidak sesuai dengan perangainya yang selalu lemah-lembut, selalu
penuh kasih kepadanya.
Kemudian Aisyah jatuh sakit, sakit yang
cukup keras. Bila ia datang menengoknya dan ibunya ada di tempat itu
merawatnya, tidak lebih ia hanya berkata: "Bagaimana?" Sungguh pilu
hati Aisyah merasakannya bila ia melihat sikap Nabi begitu kaku
kepadanya. Ia bicara dengan hatinya sendiri, tidakkah karena Juwairia
yang sekarang menggantikan tempatnya dalam hati suaminya? Begitu sesak
dadanya karena sikap Muhammad yang kaku kepadanya itu, sehingga pernah
ia berkata:
"Kalau kauijinkan, aku akan pindah ke rumah
ibu, supaya ia dapat merawatku."
Ia pun pindah ke tempat ibunya. Sikapnya
yang berlebih-lebihan itu menimbulkan kepedihan pula dalam hatinya
sendiri. Lebih dari duapuluh hari ia menderita sakit, baru kemudian ia
sembuh. Segala pembicaraan orang yang terjadi tentang dirinya, dia
tidak tahu.
Sebaliknya Muhammad, ia merasa sangat
terganggu karena berita-berita yang disebarkan orang itu. Sekali ia
mengucapkan pidato ini di hadapan orang banyak.
"Saudara-saudara, kenapa orang-orang
mengganggu saya mengenai keluarga saya. Mereka mengatakan hal-hal yang
tidak sebenarnya mengenai diri saya. Padahal yang saya ketahui mereka
itu orang baik-baik. Lalu mereka mengatakan sesuatu yang ditujukan
kepada seseorang, yang saya ketahui, demi Allah, dia juga orang baik;
tak pernah ia datang ke salah satu rumah saya hanya jika bersama dengan
saya."
Kemudian Usaid b. Hudzair berdiri seraya
berkata:
"Rasulullah, kalau mereka itu dan
saudara-saudara kami kalangan Aus, biarlah kami selesaikan, dan kalau
mereka itu dan saudara-saudara kami golongan Khazraj perintahkanlah
juga kepada kami. Sungguh patut leher mereka itu dipenggal."
Akan tetapi Sa'd b. 'Ubada lalu menjawab,
bahwa dia berani mengatakan itu karena dia mengetahui bahwa mereka dari
golongan Khazraj. Kalau mereka itu dari Aus tentu takkan
mengatakannya. Orang ramai lalu mengadakan berundingan dan
hampir-hampir terjadi suatu bencana fitnah, kalau tidak karena Rasul
segera campur tangan dengan suatu kebijaksanaan yang baik sekali.
Akhirnya, berita itu pun sampai juga kepada
Aisyah, diceritakan oleh seorang wanita dari Muhajirin. Terkejut
sekali mendengar berita itu, hampir-hampir ia jatuh pingsan. Ia
menangis tersedu-sedu, tak dapat lagi ia menahan airmata yang begitu
deras berderai, sehingga terasa seolah pecah jantungnya. Ia pergi
menjumpai ibunya, dengan membawa beban perasaan yang cukup berat,
hampir-hampir terbawa jatuh terhuyung.
"Ampun, Ibu," katanya, dengan suara
tersekat oleh air mata. "Orang-orang sudah begitu rupa bicara di luar,
tapi samasekali tidak ibu katakan kepada saya."
Melihat kesedihan yang begitu menekan
perasaan, ibunya berusaha hendak meringankannya. "Anakku," katanya,
"Jangan terlampau gundah. Seorang wanita cantik yang dimadu, yang
dicintai suami, tidak jarang menjadi buah bibir madunya dan buah bibir
orang."
Akan tetapi dengan kata-kata itu Aisyah
belum terhibur juga. Kembali ia merasa lebih pedih lagi bila teringat
sikap Nabi kepadanya yang terasa kaku, padahal tadinya sangat
lemah-lembut. Ia merasa, bahwa berita itu tampaknya terkesan juga dalam
hati Nabi, dan karenanya ia jadi curiga. Tetapi, gerangan apa yang
akan dapat diperbuatnya? Akan dimulainya sajakah ia yang bicara serta
menyebutkan berita itu, dan akan bersumpah bahwa ia sama sekali tidak
berdosa? Jadi kalau begitu ia menuduh diri sendiri, kemudian menyanggah
tuduhan itu dengan sumpah dan permohonan. Ataukah sudah saja membuang
muka seperti dia, dan juga membalasnya bersikap kepadanya seperti dia,
pula? Tetapi dia adalah Rasul Allah, dia telah memilihnya diatas
isteri-isterinya yang lain. Bukan salah dia kalau orang sampai
menyiarkan desas-desus tentang dirinya, karena dia telah terlambat dari
pasukan tentara dan kembali pulang dengan Shafwan. Ya Allah!
Berikanlah jalan keluar kepadanya dalam suasana yang demikian rumit
itu, supaya terbuka kepada Muhammad keadaan yang sebenarnya tentang
dirinya itu, supaya ia pun kembali seperti dalam suasana semula, penuh
cinta, penuh kasih dan selalu lemah-lembut kepadanya.
Muhammad minta pendapat Usman
dan Ali
Tetapi keadaan Muhammad
sebenarnya tidak lebih enak dari Aisyah. Ia merasa tersiksa karena
percakapan orang mengenai dirinya itu, sehingga akhirnya terpaksa ia
meminta pendapat sahabat-sahabatnya yang terdekat: apa yang akan
diperbuatnya. Ia pergi ke ramah Abu Bakr, Ali dan Usama bin Zaid
dipanggilnya akan dimintai pendapat. Usama ternyata menolak sama sekali
segala tuduhan yang dilemparkan orang kepada Aisyah itu. Itu bohong dan
tidak punya dasar. Sebagaimana Nabi mengenalnya, orang lain pun juga
mengenal dia sebagai seorang wanita yang sangat baik. Sebaliknya Ali.
Ia berkata: "Rasulullah, wanita yang lain banyak." Lalu sarannya supaya
menanyai bujang pembantu Aisyah, kalau-kalau ia dapat dipercaya.
Pembantu rumah itu pun dipanggil. Ali berdiri menghampirinya, lalu
memukulnya yang cukup membuat bujang itu merasa kesakitan seraya
berkata: "Katakanlah yang sebenarnya kepada Rasulullah!"
"Demi Allah yang saya ketahui dia adalah
baik," jawab pembantu rumah itu. Segala tuduhan jahat yang ditujukan
kepada Aisyah dibantahnya.
Muhammad menemui Aisyah
Akhirnya tak ada jalan lain Muhammad harus menemui
sendiri isterinya dan dimintanya supaya mengaku. Ia masuk menemui
Aisyah; di tempat itu ada ayahnya dan seorang wanita dari Anshar.
Aisyah sedang menangis dan wanita itu juga turut pula menangis. Tiada
terderita olehnya betapa dalamnya kesedihannya itu mencabik hati,
tergetar ia setelah mengetahui bahwa oleh Muhammad ia dicurigai.
Dicurigai oleh itu laki-laki yang sangat dicintainya, dipujanya,
laki-laki yang sangat dipercayainya, tempat dia rela mati untuknya.
Melihat kedatangannya itu, disekanya
airmatanya, dan terdengar olehnya ketika ia berkata:
"Aisyah, engkau sudah mengetahui apa yang
menjadi pembicaraan orang. Hendaknya engkau takut kepada Allah jika
engkau telah melakukan suatu kejahatan seperti apa yang dikatakan
orang. Bertaubatlah engkau kepada Allah, sebab Allah akan menerima
segala taubat yang datang dari hambaNya."
Selesai kata-kata itu diucapkan, Aisyah
merasa darahnya sudah mendidih. Airmatanya jadi kering. Ia menoleh ke
arah ibunya dan ke arah ayahnya. Ia menunggu bagaimana mereka akan
menjawab. Tetapi ternyata mereka diam, tiada sepatah kata pun yang
keluar dari mereka. Hati Aisyah makin panas, seraya katanya:
"Kenapa kalian tidak menjawab?"
"Sungguh kami tidak tahu bagaimana harus
kami jawab," jawab mereka.
Lalu mereka berdua kembali terdiam lagi.
Ketika itulah ia tak dapat menahan diri. Ia menangis lagi tersedu-sedu.
Airmatanya itu telah dapat meredakan api amarah yang menyala-nyala
seolah hendak membakar jantungnya. Sambil menangis itu kemudian ia
bicara, ditujukan kepada Nabi:
"Demi Allah, sama sekali saya tidak akan
bertaubat kepada Tuhan seperti yang kausebutkan itu. Saya tahu, kalau
saya mengiakan apa yang dikatakan orang itu, sedang Tuhan mengetahui
bahwa saya tidak berdosa, berarti saya mengatakan sesuatu yang tak ada.
Tetapi kalau pun saya bantah, kalian takkan percaya." Ia diam
sebentar. Kemudian sambungnya lagi: "Saya hanya dapat berkata seperti
apa yang dikatakan oleh ayah Yusuf: 'Maka sabar itulah yang baik, dan
hanya Allah tempat meminta pertolongan atas segala yang kamu ceritakan
itu!"
Wahyu membebaskan Aisyah
Sejenak jadi sunyi, setelah terjadi pergolakan itu.
Orang tidak tahu pasti sampai berapa lama hal itu berjalan. Akan tetapi
begitu Muhammad hendak meninggalkan tempat itu tiba-tiba ia terlelap
oleh kedatangan wahyu, seperti biasanya. Pakaiannya segera diselimutkan
kepadanya dan sebuah bantal dari kulit diletakkan di bawah kepalanya.
Dalam hal ini Aisyah berkata: "Saya sendiri
sama sekali tidak merasa takut dan tidak peduli setelah melihat
kejadian ini. Saya sudah mengetahui, bahwa saya tidak berdosa dan Allah
tidak akan berlaku tidak adil terhadap diri saya. Sebaliknya orangtua
saya, setelah Rasulullah s.a.w. terjaga, saya kira nyawa mereka akan
terbang karena ketakutan, kalau-kalau wahyu dari Allah akan memperkuat
apa yang dikatakan orang."
Setelah Muhammad terjaga, ia duduk kembali,
dengan bercucuran keringat. Sambil menyeka keringat dari dahi ia
berkata:
"Gembirakanlah hatimu, Aisyah! Tuhan telah
membebaskan kau dari tuduhan."
"Alhamdulillah," kata Aisyah.
Kemudian Muhammad pergi ke mesjid, dan
membacakan ayat-ayat berikut ini kepada kaum Muslimin:
"Mereka yang datang membawa berita bohong
itu sebenarnya dari golonganmu juga. Jangan kamu mengira ini suatu
bencana buat kamu, tetapi sebaliknya, suatu kebaikan juga buat kamu.
Setiap orang dari mereka itu akan mendapat ganjaran hukum atas dosa
yang mereka perbuat. Dan orang yang mengetuai penyiarannya diantara
mereka itu akan mendapat siksa yang berat. Mengapa orang-orang beriman -
laki-laki dan perempuan - ketika mendengar berita itu, tidak
berprasangka baik terhadap sesama mereka sendiri, dan mengatakan: ini
adalah suatu berita bohong yang nyata sekali? Mengapa dalam hal ini
mereka tidak membawa empat orang saksi. Kalau mereka tak dapat membawa
saksi-saksi itu, maka mereka itu disisi Allah adalah orang-orang
pendusta.
Dan sekiranya bukan karena kemurahan Tuhan
dan kasih-sayangNya juga kepadamu - di dunia dan di akhirat - niscaya
siksa Allah yang besar akan menimpa kamu, karena fitnah yang kamu
lakukan itu. Tatkala kamu menerima berita itu dari mulut ke mulut, dan
kamu katakan pula dengan mulut kamu sendiri apa yang tidak kamu ketahui
dengan pasti, dan kamu mengiranya hanya soal kecil saja, padahal pada
Allah itu adalah perkara besar. Dan tatkala kamu mendengarnya, mengapa
tidak kamu katakan saja: tidak sepatutnya kami membicarakan masalah
ini. Maha Suci Tuhan. Ini adalah kebohongan besar. Allah memperingatkan
kamu, jangan sekali-kali hal serupa itu akan terulang jika kamu memang
orang-orang yang beriman. Allah menjelaskan keterangan-keterangan itu
kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Mereka yang suka
melihat tersebarnya perbuatan keji di kalangan orang-orang beriman,
akan mengalami siksaan pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (Qur'an, 24 : 11-19)
Dalam hubungan ini pula datangnya ketentuan
hukuman terhadap orang yang melemparkan tuduhan buta kepada kaum
wanita yang baik-baik.
"Dan mereka yang melemparkan tuduhan keji
kepada wanita-wanita yang baik-baik, lalu mereka tak dapat membawa
empat orang saksi, maka deralah mereka dengan delapan puluh kali
pukulan, dan jangan sekali-kali menerima lagi kesaksian mereka itu.
Mereka itu adalah orang-orang yang jahat." (Qur'an, 24: 4)
Untuk melaksanakan ketentuan Qur'an, mereka
yang telah menyebarkan berita keji itu - Mistah b. Uthatha, Hassan b.
Thabit dan Hamna bt. Jahsy, masing-masing mendapat hukuman dera
delapanpuluh kali. Sekarang kembali Aisyah seperti dalam keadaannya
semula, dalam rumah tangga dan dalam hati Muhammad.
Maaf yang sungguh indah
Sebagai komentar atas peristiwa ini Sir William Muir
menyebutkan sebagai berikut: "Sejarah Aisyah, baik sebelum atau sesudah
peristiwa itu mengharuskan kita mengambil keputusan yang pasti bahwa
dia, adalah bersih dari segala tuduhan itu dan mengharuskan kita pula
untuk tidak ragu-ragu lagi menggugurkan segala macam prasangka terhadap
dirinya."
Akan tetapi sesudah itu pun Hassan b.
Thabit kembali diterima dan mendapat kasih sayang Muhammad lagi.
Demikian juga Muhammad minta kepada Abu Bakr, supaya jangan mengurangi
kasih-sayangnya kepada Mistah seperti yang sudah-sudah. Sejak itu
selesailah peristiwa itu dan tidak lagi meninggalkan bekas di seluruh
Medinah. Aisyah pun cepat pula sembuh dari sakitnya, lalu kembali ke
rumahnya di tempat Rasul, dan kembali pula ke dalam hati Rasul, kembali
dalam kedudukannya yang tinggi dalam hati sahabat-sahabatnya seluruh
kaum Muslimin. Dengan demikian Nabi dapat kembali mengabdikan diri
kepada ajarannya dan kepada pengarahan kaum Muslimin sebagai suatu
persiapan guna menghadapi perjanjian Hudaibiya. Semoga Allah memberikan
kemenangan yang nyata kepada umat Muslimin.
Catatan kaki
1 Qur'an 53
2
Sebuah desa atau pangkalan air terletak antara Mekah dengan Medinah,
kira-kira 66 km dari Mekah (A).
3
min ka'abat'l-munqalab, 'menarik diri dari perjalanan dan kembali ke
kampung halaman, yakni ia kembali ke rumah dengan melihat segala
sesuatu yang menyedihkan' (N), (A).
4
Aslinya secara harfiah: 'Gemukkan anjingmu, engkau akan dimakannya.'
(A).
Sumber : http://www.sejarahnabi.net/2010/09/bab-xix-dari-dua-peperangan-ke.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar