Politik Muhammad
sesudah Uhud
ABU SUFYAN telah kembali dari Uhud ke Mekah.
Berita-berita kemenangannya sudah lebih dulu sampai, yang disambut
penduduk dengan rasa gembira, karena dianggap sudah dapat menghapus
cemar yang dialami Quraisy selama di Badr. Begitu sampai ia ke Mekah,
langsung menuju Ka'bah sebelum ia pulang ke rumah. Kepada Hubal dewa
terbesar ia menyatakan puji dan syukur. Dicukurnya lebih dulu rambut
yang di bawah telinganya, lalu ia pulang ke rumah sebagai orang yang
sudah memenuhi janji bahwa ia takkan mendekati isterinya sebelum dapat
mengalahkan Muhammad.
Sebaliknya kalangan Muslimin, mereka
melihat kota Medinah sudah banyak terasa aneh sekali, meskipun musuh
tetap mengejar-ngejar mereka. Selama tiga hari terus-menerus mereka
tetap tabah menghadapi musuh yang masih tidak mempunyai keberanian
menghadapi mereka itu. Padahal belum selang duapuluh empat jam yang
lalu musuh telah merasa sebagai pihak yang menang.
Pihak Muslimin melihat keadaan Medinah itu
sudah terasa banyak sekali mengalami perubahan, meskipun kekuasaan
Muhammad di kota itu tetap di atas. Dalam pada itu Nabi as. merasa,
bahwa keadaan memang sudah sangat genting dan gawat sekali, bukan hanya
dalam kota Medinah saja, bahkan juga sudah melampaui sampai kepada
kabilah-kabilah Arab lainnya, yang memang sudah merasa ketakutan.
Peristiwa Uhud membawa perasaan lega kepada mereka, sehingga terpikir
oleh mereka itu hendak menentangnya lagi dan mengadakan perlawanan. Oleh
karena itu ia ingin sekali mengikuti berita-berita sekitar penduduk
Medinah dan kalangan Arab umumnya, yang kiranya akan memberikan suatu
kemungkinan menempatkan kembali kedudukan, kekuatan dan kewibawaan
Muslimin kedalam hati mereka.
Berita pertama yang sampai kepadanya
sesudah peristiwa Uhud, ialah bahwa Tulaiha dan Salama bin Khuailid dua
bersaudara - dan keduanya waktu itu yang memimpin Banu Asad - sedang
mengerahkan masyarakatnya dan mereka yang mau mentaatinya, untuk
menyerang Medinah dan menyerbu Muhammad sampai ke dalam rumahnya
sendiri dengan maksud memperoleh keuntungan dan merampas ternak
Muslimin yang dipelihara di ladang-ladang sekeliling kota itu. Yang
menyebabkan mereka berani berbuat begitu ialah karena anggapan bahwa
Muhammad dan teman-temannya masih menderita karena telah mengalami
pukulan hebat selama di Uhud.
Pasukan Abu Salama
Berita itu terbetik juga oleh Nabi. Ia segera
memanggil Abu Salama b. Abd'l-Asad yang lalu diserahi pimpinan pasukan
yang terdiri dari 150 orang, termasuk Abu 'Ubaida bin'l-Jarrah, Sa'd b.
Abi Waqqash dan Usaid b. Hudzair. Mereka diperintahkan supaya berjalan
pada malam hari dan siangnya bersembunyi dengan menempuh jalan yang
tidak biasa dilalui orang, supaya jangan ada orang yang mengenal jejak
mereka. Dengan demikian mereka akan dapat menyergap musuh dengan cara
yang tiba-tiba sekali. Perintah ini oleh Abu Salama dilaksanakan. Ia
berhasil menyerbu musuh dalam keadaan tidak siap. Dalam pagi buta
mereka sudah terkepung. Dikalahkannya anak buahnya dalam menghadapi
perjuangan itu. Tetapi pihak musyrik sudah tak dapat bertahan lagi. Dua
pasukan segera dikirim mengejar mereka dan merebut rampasan perang yang
ada. Ia dan anak buahnya menunggu di tempat itu sambil menantikan
pasukan pengejar itu kembali membawa rampasan perang.
Setelah seperlima rampasan itu dikeluarkan
untuk Tuhan, untuk Rasul, orang miskin dan orang yang dalam perjalanan,
selebihnya mereka bagi sesama mereka, lalu mereka kembali ke Medinah
dengan sudah membawa kemenangan. Kewibawaan yang karena peristiwa Uhud
itu terasa sudah agak berkuramg, kini mulai kembali lagi. Hanya saja
Abu Salama sendiri hidup tidak lama lagi sesudah ekspedisi itu. Ia
menderita luka-luka akibat perang Uhud dan luka-lukanya itu belum
sembuh benar kecuali yang tampak dari luar saja. Tetapi sesudah ia
bekerja keras lukanya itu terbuka dan kembali mengucurkan darah, yang
diderita terus sampai meninggalnya.
Pasukan Abdullah b.
'Unais
Sesudah itu kemudian
sampai pula berita kepada Muhammad bahwa Khalid b. Sufyan b. Nubaih
al-Hudhali yang tinggal di Nakhla atau di 'Urana telah mengumpulkan
orang pula hendak menyerangnya. Mendengar ini Muhammad segera mengutus
Abdullah b. Unais meneliti dan mencek kebenaran berita tersebut.
Abdullah berjalan menuju ke tempat Khalid, yang ketika itu dijumpainya
ia sedang berada di rumah bersama dengan isteri-isterinya.
"Siapa kamu," tanya Khalid setelah Abdullah
sampai.
"Saya dari golongan Arab juga," jawabnya.
"Mendengar tuan mengumpulkan orang hendak menyerang Muhammad maka saya
datang kemari."
Khalid berterus-terang, bahwa ia memang
sedang mengumpulkan orang hendak menyerang Medinah. Setelah Abdullah
melihat sekarang ia seorang diri jauh dari anak-buahnya - kecuali
isteri-isterinya - dicarinya jalan supaya ia mau berjalan bersama-sama.
Begitu ia mendapat kesempatan dihantamnya orang itu dengan pedangnya
dan dia pun menemui ajalnya. Dibiarkannya dia di tangan
isteri-isterinya yang berkerumun menangisinya. Sekembalinya ke Medinah
disampaikannya berita itu kepada Rasul.
Setelah kematian pemimpinnya itu, Banu
Lihyan sebagai cabang Hudhail yang selama beberapa waktu tenang-tenang
saja, sekarang mulai terpikir akan mengadakan pembalasan dengan suatu
tipu-muslihat.
Pada waktu itulah kabilah yang berdekatan
itu mengutus rombongan kepada Muhammad dengan mengatakan: Di kalangan
kami ada beberapa orang Islam. Kirimkanlah beberapa orang sahabat tuan
bersama kami, yang akan dapat kelak mengajarkan hukum agama dan Qur'an
kepada kami.
Peristiwa ar-Raji' (tahun
625)
Untuk menunaikan tugas
agama yang mulia itu, setiap diperlukan pada waktu itu Muhammad selalu
siap mengutus sahabat-sahabatnya untuk memberikan bimbingan kepada
orang dalam mengenal Tuhan dan agama yang benar, serta untuk menjadi
pengikut Muhammad dan sahabat-sahabatnya menghadapi lawan, seperti yang
sudah kita lihat, ketika mereka dulu diutus ke Medinah sesudah Ikrar
'Aqaba kedua. Oleh karena itu enam orang sahabat besar kemudian
diutusnya berangkat bersama-sama dengan rombongan utusan itu. Tetapi
sesampainya di suatu pangkalan air kepunyaan Hudhail di bilangan Hijaz,
di suatu daerah yang disebut ar-Raji', ternyata mereka telah
dikhianati, dengan tindakan rombongan itu yang sudah tentu dengan
meminta bantuan Hudhail. Tetapi ini tidak membuat keenam orang Muslimin
itu jadi gugup ketakutan, yang dalam perlengkapannya itu mereka hanya
membawa pedang. Kaum Muslimin itu segera mencabut pedang hendak
mempertahankan diri. Tetapi pihak Hudhail berkata kepada mereka:
"Demi Allah, kami tidak ingin membunuh
kamu. Tapi dengan kamu ini kami ingin memperoleh keuntungan dari
penduduk Mekah. Kami berjanji atas nama Tuhan bahwa kami tidak
bermaksud membunuh kamu."
Keenam orang Muslim itu
berpandang-pandangan. Mereka sadar sudah bahwa dibawanya mereka
satu-satu ke Mekah itu berarti suatu penghinaan yang sebenarnya lebih
jahat dari pembunuhan. Mereka menolak janji Hudhail itu, dan mereka
tetap akan mengadakan perlawanan, meskipun mereka sudah menyadari,
bahwa dalam jumlah yang sekecil itu mereka tidak berdaya. Tiga orang
dari mereka ini dibunuh oleh Hudhail, sedang sisanya sudah makin tak
berdaya. Mereka semua ditangkap dan dibawa sebagai tawanan, yang
kemudian dibawa ke Mekah dan dijual. Abdullah b. Tariq, salah seorang
dari ketiga orang Islam itu di tengah jalan berhasil melepaskan
belenggu dari tangannya lalu ia mencabut pedang. Oleh karena rombongan
yang lain berada di belakangnya, dihujaninya ia dengan batu dan ia
puntewas karenanya.
Kedua orang tawanan lainnya sempat dibawa
oleh Hudhail ke Mekah, lalu dijual. Zaid bin'd-Dathinna dijual kepada
Shafwan b. Umayya yang sengaja membelinya untuk dibunuh. Ia diserahkan
kepada Nastas, budaknya supaya membunuhnya sebagai balasan atas
kematian ayahnya Umayya b. Khalaf. Ketika dibawa, oleh Abu Sufyan ia
ditanya:
"Zaid, sangat kuharapkan sekali.
Bersediakah engkau memberikan tempatmu itu kepada Muhammad ? Dialah
yang harus dipenggal lehernya, sedang engkau dapat kembali kepada
keluargamu."
"Tidak," jawab Zaid. "Sekiranya Muhammad
ditempatnya sekarang ini akan menderita karena tusukan duri sekalipun,
sedang aku di tempat keluarga, aku tidak sudi."
Abu Sufyan kagum sekali, seraya katanya:
"Belum pernah aku melihat seseorang
mencintai kawannya demikian rupa seperti sahabat-sahabat Muhammad
mencintai Muhammad."
Zaid lalu dibunuh oleh Nastas. Maka ia pun
gugur sebagai syahid yang memegang teguh agama dan amanat Nabi.
Zaid b. Khubaib dibunuh
Adapun Khubaib waktu itu dalam penjara,
yang kemudian dibawa keluar untuk disalib. Tapi ia berkata kepada
mereka:
"Dapatkah kamu membiarkan aku sekadar
melakukan salat dua raka'at?"
Permintaan demikian itu dikabulkan. Iapun
sembahyang dua raka'at dengan baik dan sempurna. Kemudian ia menghadap
mereka lagi:
"Kalau tidak karena kamu akan menyangka
saya sengaja memperlambat karena takut dibunuh, niscaya saya masih akan
sembahyang lebih banyak lagi."
Setelah ia dinaikkan dan diikat di atas
tonggak kayu, dipandangnya mereka itu dengan mata sayu seraya katanya: "
Ya Allah, hitungkan bilangan mereka itu,
binasakan mereka dalam keadaan cerai-berai dan jangan dibiarkan
seorangpun dari mereka itu."
Mendengar suara yang keras itu mereka
gemetar, mereka merebahkan diri takut terkena kutukannya. Sesudah itu
ia pun dibunuh. Seperti Zaid yang telah gugur sebagai syahid, Khubaib
juga kemudian gugur pula sebagai syahid untuk agama dan untuk Nabi. Dua
ruh yang suci itu pun kini melayang pula. Padahal, sebenarnya mereka
akan dapat menyelamatkan diri dari pembunuhan itu kalau saja mereka mau
jadi murtad meninggalkan agamanya. Tetapi demi keyakinan mereka kepada
Tuhan, kepada keluhuran rohani dan hari kemudian - tatkala setiap jiwa
hanya akan mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya dan tak ada
orang yang akan memikul beban orang lain - mereka melihat maut itu -
sebagai tujuan hidup - adalah tujuan yang paling baik dalam hidupnya
demi akidah, demi iman dan demi kebenaran. Mereka pun yakin bahwa darah
mereka, yang kini ditumpahkan di atas bumi Mekah, akan memanggil
saudara-saudaranya kaum Muslimin supaya memasuki kota itu sebagai pihak
yang menang, yang akan menghancurkan berhala-berhala, akan
membersihkan segala noda paganisma dan kehidupan syirik. Dan kesucian
Ka'bah sebagai Baitullah akan dikembalikan juga sebagaimana mestinya,
bersih dari segala sebutan nama-nama selain asma Allah.
Orientalis diam saja
Dalam menghadapi peristiwa ini pihak Orientalis tidak
bicara apa-apa seperti ketika menghadapi peristiwa tawanan Badr yang
dibunuh pihak Muslimin. Mereka tidak berusaha untuk memandang jijik
perbuatan khianat yang diiakukan Banu Hudhail terhadap dua orang yang
tidak berdosa itu, yang bukan ditawan dari medan perang, tapi diambil
dengan cara tipu-muslihat, yang berangkat karena perintah Rasul dengan
maksud supaya mengajarkan agama kepada orang-orang yang mengkhianati
mereka itu, orang-orang yang menyerahkan mereka kepada Quraisy, setelah
kawan-kawannya yang lain pun dibunuh secara gelap dan licik. Kaum
Orientalis tidak menganggap jijik perbuatan Quraisy terhadap dua orang
yang tak bersenjata itu, padahal apa yang mereka lakukan adalah suatu
perbuatan pengecut dan tindakan permusuhan yang rendah sekali. Pada
dasarnya prinsip kejujuran yang harus menjadi pegangan kaum Orientalis,
yang merasa tidak dapat menerima apa yang dilakukan kaum Muslimin
terhadap dua tawanan perang Badr itu, ialah akan merasa jijik sekali
terhadap pengkhianatan Quraisy yang menerima penyerahan dua orang untuk
dibunuh itu, sesudah empat orang lainnya yang didatangkan atas
permintaan mereka untuk mengajarkan agama, telah lebih dulu pula mereka
bunuh.
Semua Muslimin merasa sedih, Muhammad juga
merasa sedih sekali atas malapetaka yang telah menimpa keenam orang
yang gugur sebagai syahid di jalan Tuhan karena pengkhianatan Hudhail
itu. Ketika itulah Hassan b. Thabit mengirimkan sajak-sajaknya sebagai
elegi yang mendalam sekali buat Khubaib dan Zaid.
Dalam pada itu lebih banyak lagi Muhammad
memikirkan keadaan umat Muslimin. Kuatir sekali ia kalau hal semacam
itu terulang lagi. Masyarakat Arab akan sangat merendahkan mereka.
Sementara ia sedang berpikir-pikir demikian
itu tiba-tiba datang Abu Bara' 'Amir b. Malik. Muhammad menawarkan
kepadanya supaya ia sudi masuk Islam, tapi ia menolak. Sungguhpun
begitu juga ia tidak menunjukkan sikap permusuhannya terhadap Islam.
Bahkan katanya: "Muhammad, kalau ada sahabat-sahabatmu yang dapat
diutus ke Najd dan mengajak mereka itu menerima ajaranmu saya harap
mereka itu akan menerima."
Tetapi Muhammad masih kuatir akan
melepaskan sahabat-sahabatnya itu ke Najd dan takut ia penduduk daerah
itu nanti akan mengkhianati mereka seperti pernah dilakukan Hudhail
terhadap Khubaib dan kawan-kawan. Ia tidak yakin dan tidak dapat
mengabulkan permintaan Abu Bara'.
"Saya menjamin mereka," katanya lagi.
"Kirimkanlah utusan kesana untuk mengajak mereka menerima ajaranmu."
Abu Bara' adalah orang yang ditaati di
kalangan masyarakatnya dan didengar orang perkataannya. Barangsiapa
yang sudah diberinya perlindungan ia tidak kuatir akan mendapat
serangan pihak lain.
Dengan demikian Muhammad mengutus
al-Mundhir b. 'Amr dari Banu Sa'ida dengan memimpin 40 orang Muslimin
pilihan. Mereka pun berangkat. Sampai di Bi'ir Masuna - antara daerah
Banu 'Amir dan Banu Sulaim - mereka berhenti. Dari sana mereka mengutus
Haram b. Milhan membawa surat Muhammad kepada 'Amir bin't-Tufail.
Tetapi oleh 'Amir surat itu tidak dibacanya, malah orang yang
membawanya dibunuh, dan dia minta bantuan Banu 'Amir supaya membunuhi
kaum Muslimin. Tetapi setelah mereka menolak untuk melakukan pelanggaran
atas pertanggung-jawaban dan perlindungan yang telah diberikan oleh
Abu Bara' 'Amir meminta bantuan kabilah-kabilah lain. Permintaan ini
oleh mereka dipenuhi dan kemudian bersama-sama dia mereka berangkat dan
mengepung rombongan Muslimin di tempat itu. Melihat keadaan ini pihak
Muslimin pun segera mencabut pedang. Mereka mengadakan perlawanan
mati-matian sampai akhirnya mereka terbunuh semua.
Hanya Ka'b b. Zaid yang masih selamat, yang
dibiarkan begitu saja oleh Ibn't-Tufail. Ternyata ia belum mati.
Kemudian ia pun pergi pulang ke Madinah. Demikian juga 'Amr b. Umayya,
yang oleh 'Amir bin't-Tufail dimerdekakan karena dikiranya ia masih
terikat dengan suatu niat ibunya. Dalam perjalanan pulang di tengah
jalan 'Amr bertemu dengan dua orang yang dikiranya turut menyerang
kawan-kawannya. Dibiarkannya kedua orang itu sampai tidur lebih dulu,
kemudian diserangnya dan dibunuhnya. Sesudah itu ia melanjutkan lagi
perjalanannya. Sesampainya di Medinah diberitahukannya perbuatannya itu
kepada Rasul a.s. Ternyata kedua orang itu dari Banu 'Amir, dari
golongan Abu Bara' dan yang juga terikat oleh suatu perjanjian Jiwar
(bertetangga baik) dengan Rasulullah, dan ini berarti harus
diselesaikan dengan diat.
Bukan main Muhammad menahan perasaan pilu
karena pembunuhan di Bi'ir Ma'una itu. Sungguh berat hatinya menahan
dukacita atas sahabat-sahabatnya itu. Ia berkata: "Ini adalah perbuatan
Abu Bara'. Sejak semula saya sudah berat hati dan kuatir sekali."
Abu Bara' juga merasa sangat terpukul
karena pelanggaran 'Amir bin't-Tufail atas dirinya itu. Karena itu,
Rabi'a anaknya lalu bertindak menghantam 'Amir dengan tombak sebagai
balasan atas perbuatannya terhadap ayahnya. Begitu dalamnya rasa
dukacita Muhammad sehingga sebulan penuh setiap selesai salat Subuh ia
berdoa semoga Tuhan mengadakan pembalasan terhadap mereka yang telah
membunuh sahabat-sahabatnya itu. Demikian juga seluruh umat Muslimin
turut merasa pilu karena malapetaka yang telah menimpa
saudara-saudaranya seagama itu, meskipun sudah dengan penuh iman bahwa
mereka semua gugur sebagai syuhada, dan mereka semua akan mendapat
surga.
Orang-orang Yahudi dan
orang-orang Munafik di Medinah
Malapetaka
yang telah menimpa kaum Muslimin di Raji' dan di Bi'ir Ma'una
mengingatkan kaum munafik dan Yahudi Medinah akan kemenangan Quraisy di
Uhud, dan membuat mereka lupa akan kemenangan Muslimin atas Banu Asad,
juga mengurangi pandangan mereka terhadap kewibawaan Muhammad dan
sahabat-sahabatnya. Dalam menghadapi hal ini sekarang Nabi a.s. berpikir
dengan suatu pemikiran politik yang cermat sekali serta pandangan yang
jauh. Ketika itu bahaya yang paling besar mengancam kaum Muslimin
ialah sikap penduduk Medinah yang kiranya akan merendahkan kewibawaan
mereka. Begitu juga yang sangat diharapkan oleh kabilah-kabilah Arab,
mereka akan dapat menanamkan perpecahan didalam, yang berarti akan
dapat menimbulkan perang saudara jika nanti ada saja tetangga yang
menyerbu Medinah. Disamping itu pihak Yahudi dan orang-orang munafik
seolah-olah memang sedang menantikan bencana yang akan menimpa itu.
Karena itu dilihatnya tak ada jalan lain yang lebih baik daripada
membiarkan mereka, supaya nanti niat mereka terbongkar.
Oleh karena Yahudi Banu Nadzir itu sekutu
Banu 'Amir, maka Nabi berangkat sendiri ke tempat mereka - yang tidak
jauh dari Quba'[ - dengan membawa sepuluh orang Muslimin terkemuka,
diantaranya Abu Bakr, Umar dan Ali. Ia minta bantuan Banu Nadzir dalam
membayar diat dua orang yang telah dibunuh tidak sengaja oleh 'Amr b.
Umayya itu dan tidak diketahuinya pula bahwa Nabi telah memberikan
perlindungan kepada mereka.
Yahudi berkomplot terhadap
Muhammad
Setelah dijelaskan maksud
kedatangannya, mereka memperlihatkan sikap gembira dan dengan senang
hati bersedia mengabulkan. Akan tetapi, sementara sebagian mereka
sedang asyik bercakap-cakap dengan dia, dilihatnya yang lain sedang
berkomplot. Salah seorang dari mereka pergi menyisih ke suatu tempat
dan tampaknya mereka sedang mengingatkan kematian Ka'b b. Asyraf. Salah
seorang dari mereka itu ('Amr b. Jihasy b. Ka'b) tampak memasuki rumah
tempat Muhammad sedang duduk-duduk bersandar di dinding. Ketika itulah
ia merasa curiga sekali, lebih-lebih lagi karena persekongkolan mereka
dan percakapan mereka itu telah didengarnya.
Dengan demikian, diam-diam ia menarik diri
dari tempat itu dengan meninggalkan sahabat-sahabatnya. Mereka menduga
ia pergi untuk suatu urusan.
Sebaliknya pihak Yahudi, mereka jadi
kebingungan. Tidak tahu lagi mereka; apa yang harus mereka katakan, dan
apa pula yang harus mereka perbuat terhadap sahabat-sahabat Muhammad.
Kalau mereka ini yang akan mereka jerumuskan niscaya Muhammad akan
mengadakan pembalasan keras. Jika mereka biarkan saja, kalau-kalau
persekongkolan mereka terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya tetap
tak akan terbongkar. Dengan demikian perjanjian mereka dengan pihak
Muslimin tetap berlaku. Jadi sekarang mereka berusaha meyakinkan
tamu-tamu Muslimin itu yang mungkin akan dapat menghilangkan rasa
kecurigaan mereka tanpa samasekali menyebut-nyebut hal tersebut.
Tetapi sahabat-sahabat Muhammad setelah
lama menunggunya, mereka pun pergi pula mencarinya. Tatkala ada orang
yang datang dari Medinah dijumpai, tahulah mereka bahwa Muhammad sudah
sampai di kota itu dan langsung menuju ke mesjid. Mereka pun juga pergi
ke sana. Ia menceritakan kepada mereka mengenai apa yang telah
menimbulkan kecurigaan dari sikap orang Yahudi itu serta maksud mereka
yang hendak mengkhianatinya. Barulah mereka menyadari apa yang telah
mereka lihat itu. Mereka percaya akan ketajaman pandangan Rasul serta
akan apa yang telah diwahyukan kepadanya.
Kemudian Nabi memanggil Muhammad b.
Maslama, dan katanya:
"Pergilah kepada Yahudi Banu Nadzir dan
katakan kepada mereka, bahwa Rasulullah mengutus aku kepada kamu
sekalian supaya kamu keluar dari negeri ini. Kamu telah melanggar
perjanjian yang sudah kubuat dengan kamu dengan maksudmu hendak
mengkhianati aku. Aku memberikan waktu sepuluh hari kepada kamu.
Barangsiapa yang masih terlihat sesudah itu akan dipenggal lehernya."
Yahudi Banu Nadzir sekarang merasa putus
asa dan kebingungan. Atas keterangan itu mereka tidak dapat membela
diri lagi, mereka tidak menjawab apa-apa lagi; kecuali katanya kepada
Ibn Maslama:
"Muhammad, kami tidak menduga hal ini akan
datang dari orang golongan Aus." Ini adalah suatu isyarat tentang
persekutuan mereka dengan pihak Aus dahulu dalam perang dengan Khazraj,
tetapi Ibn Maslama hanya menjawab:
"Hati orang sudah berubah."
Abdullah b. Ubayy membakar
semangat orang-orang Yahudi
Selama
beberapa hari golongan ini sudah bersiap-siap. Tetapi dalam pada itu
tiba-tiba datang pula dua orang suruhan Abdullah b. Ubayy dengan
mengatakan: "Jangan ada orang yang mau meninggalkan rumah-rumah kamu dan
harta benda kamu. Tetaplah bertahan dalam benteng kamu sekalian. Dari
golonganku sendiri ada dua ribu orang dan selebihnya dari golongan Arab
yang akan bergabung dengan kita dalam benteng dan mereka akan bertahan
sampai titik darah penghabisan, sebelum ada pihak lain menyentuh
kamu."
Banu Nadzir dikepung
Banu Nadzir mengadakan perundingan atas keterangan
Ibn Ubayy itu. Mereka tambah bingung. Ada yang samasekali tidak percaya
kepada Ibn Ubayy. Bukankah dulu pernah ia menjanjikan Banu Qainuqa'
seperti yang dijanjikannya kepada Banu Nadzir sekarang, tetapi tiba
waktunya ia cuci tangan dan menghilang meninggalkan mereka? Juga mereka
mengetahui, bahwa Banu Quraidza takkan dapat membela mereka mengingat
adanya suatu perjanjian dengan pihak Muhammad. Disamping itu, kalau
mereka keluar dari kampung mereka itu ke Khaibar atau ke tempat lain
yang berdekatan mereka masih akan dapat kembali ke Yathrib bila kurma
mereka nanti sudah berbuah; mereka akan memetik buah kurma itu lalu
kembali ke tempat mereka semula. Mereka tidak akan mengalami banyak
kerugian
"Tidak," kata Huyayy b. Akhtab pemimpin
mereka. "Malah kita yang harus mengirim pesan kepada Muhammad: bahwa
kita tidak akan meninggalkan kampung kita dan harta-benda kita.
Terserah apa yang akan diperbuat. Kita hanya tinggal memperbaiki kubu
kita; kita akan memasuki tempat ini sesuka hati kita. Kita akan
membiasakan memakai jalan-jalan kita, kita pindahkan batu-batu ke
tempat itu. Persediaan makanan kita cukup buat setahun, air pun tidak
pernah terputus. Muhammad tidak akan mengepung kita setahun penuh."
Tetapi sepuluh hari sudah lampau. Mereka
tidak juga keluar dari perkampungan itu.
Dengan membawa senjata pihak Muslimin
selama duabelas malam bertempur melawan mereka. Ketika itu bila sudah
tampak Muslimin di jalan-jalan atau di rumah-rumah, mereka mundur ke
rumah berikutnya sesudah rumah-rumah itu mereka robohkan. Kemudian
Muhammad memerintahkan sahabat-sahabatnya menebangi pohon-pohon kurma
kepunyaan orangorang Yahudi itu, lalu membakarnya. Dengan demikian
orang-orang Yahudi itu tidak akan terlalu terikat pada harta-bendanya
lagi dan tidak akan terlalu bersemangat mau berperang
Dengan tidak sabar orang-orang Yahudi itu
berteriak:
"Muhammad! Tuan melarang orang berbuat
kerusakan. Tuan cela orang yang berbuat begitu. Tetapi kenapa
pohon-pohon kurma ditebangi dan dibakar?!"
Dalam hal ini firman Tuhan turun:
"Mana pun pohon kurma yang kamu tebang atau
kamu biarkan berdiri dengan batangnya, adalah dengan ijin Allah juga,
dan karena Ia hendak mencemoohkan mereka yang melanggar hukum
itu."(Qur'an, 59: 5)
Exodus
Sia-sia saja rupanya pihak Yahudi itu menunggu adanya
bantuan dari Abdullah b. Ubayy atau pertolongan yang mungkin datang dan
salah satu golongan Arab. Sekarang mereka yakin, bahwa mereka hanya
akan beroleh nasib buruk saja apabila terus bersitegang hendak
berperang. Setelah ternyata mereka dalam putus-asa dan ketakutan,
mereka meminta damai kepada Muhammad, meminta jaminan keamanan atas
harta-benda, darah serta anak-anak keturunan mereka; sampai mereka
keluar dari Medinah. Muhammad pun mengabulkan permintaan mereka; asal
mereka keluar dari kota itu: Setiap tiga orang diberi seekor unta dengan
muatan harta-benda; persediaan makanan dan minuman sesuka hati mereka.
Di luar itu tidak ada. Pihak Yahudi menerima. Mereka dipimpin oleh
Huyayy b. Akhtab.
Dalam perjalanan itu mereka ada yang
berhenti di Khaibar, yang lain meneruskan perjalanan sampai ke Adhri'at
di bilangan Syam. Harta-benda yang mereka tinggalkan menjadi barang
rampasan Muslimin yang terdiri dari hasil bumi, senjata berupa 50 buah
baju besi, 340 bilah pedang, di samping tanah milik orang-orang Yahudi
itu. Tetapi tanah ini tidak dapat dianggap sebagai rampasan perang;
oleh karenanya tak dapat dibagi-bagikan kepada kaum Muslimin, melainkan
khusus di tangan Rasulullah yang nantinya akan ditentukan sendiri
menurut kebijaksanaannya. Dan tanah itu kemudian dibagi-bagikan kepada
golongan Muhajirin yang pertama di luar golongan Anshar, setelah
dikeluarkan bagian khusus yang hasilnya akan menjadi hak fakir-miskin.
Dengan demikian kaum Muhajirin itu tidak perlu lagi harus menerima
bantuan kaum Anshar dan inipun sudah menjadi harta kekayaan mereka.
Dari pihak Anshar yang turut mendapat bagian hanya Abu Dujana dan Sahl
b. Hunaif, yang sudah terdaftar sebagai orang miskin.
Muhammad memberikan bagian kepada mereka
ini seperti kepada kaum Muhajirin.
Dari golongan Yahudi Banu Nadzir sendiri
tak ada yang masuk Islam kecuali dua orang. Mereka masuk Islam karena
harta mereka, yang kemudian mereka peroleh kembali.
Tidak begitu sulit orang akan menilai arti
kemenangan Muslimin serta pengosongan Banu Nadzir dari Medinah itu,
setelah kita kemukakan betapa Rasul .a.s. memperhitungkan, bahwa adanya
mereka di tempat itu akan memberikan semangat dalam menimbulkan
bibit-bibit fitnah, akan mengajak orang-orang munafik itu mengangkat
kepala setiap mereka melihat pihak Muslimin mendapat bencana dan
mengancam timbulnya perang saudara bila saja ada musuh menyerang kaum
Muslimin.
Tentang perginya Banu Nadzir itu Surah
Hasyr (59) ini turun:
"Tidakkah engkau perhatikan orang-orang
yang bersikap munafik, yang berkata kepada saudara-saudaranya yang tak
beriman dari kalangan Ahli Kitab: Kalau kamu diusir keluar, niscaya
kami pun akan keluar bersama kamu, dan tidak sekali-kali kami akan
dipengaruhi oleh siapa pun menghadapi persoalanmu ini; dan kalau kamu
dipengaruhi niscaya kami pun akan membelamu. Tetapi Tuhan mengetahui,
bahwa mereka adalah pendusta belaka. Kalaupun mereka ini diusir keluar,
mereka pun tidak akan ikut bersama-sama keluar, juga kalau mereka ini
diperangi, mereka pun tidak akan turut membantu. dan kalaupun mereka
sampai membantu, niscaya mereka akan lari mengundurkan diri; lalu mereka
ini tidak mendapat pertolongan. Sungguh dalam hati mereka kamu sangat
ditakuti lebih dari Allah. Demikian itulah, sebab mereka adalah
golongan yang tidak mengerti." (Qur'an, 59: 11-13)
Kemudian Surah itu dilanjutkan dengan
memberi keterangan tentang iman dan kekuasaannya. Iman hanya kepada
Allah semata-mata. Bagi jiwa manusia, yang tahu harga diri dan
kehormatan dirinya, yang dikenalnya hanyalah kekuasaan Tuhan.
"Dialah Allah. Tiada tuhan selain Dia. Maha
mengetahui segala yang gaib dan yang nyata. Dia Pengasih dan
Penyayang. Dialah Allah. Tiada tuhan selain Dia. Maha Raja, Maha Kudus.
Pembawa Keselamatan, Keamanan, Penjaga segalanya, Maha Kuasa, Maha
Perkasa, Maha Agung. Maha Suci Allah dari segala yang mereka
persekutukan. Dialah Allah. Pencipta, Pengatur, Pembentuk rupa,
PadaNyalah ada Asma Yang Indah. Segala yang ada di langit dan di bumi
berbakti kepadaNya. Dan Dia Maha Kuasa, Maha Bijaksana." (Qur'an, 59:
22 - 24)
Sekretaris Nabi
Sampai pada waktu dikosongkannya Medinah dari Banu
Nadzir, yang menjadi sekretaris Nabi ketika itu ialah orang Yahudi. Hal
ini dimaksudkan untuk memudahkan pengiriman surat-surat dalam bahasa
Ibrani dan Asiria. Tetapi setelah orang-orang Yahudi keluar, Nabi jadi
kuatir kalau jabatan yang memegang rahasianya itu bukan di tangan orang
Islam. Dari kalangan pemuda Islam di Medinah dimintanya Zaid b. Thabit
supaya mempelajari kedua bahasa tersebut, yang dalam segala urusan
kemudian ia akan menjadi sekretaris Nabi. Dan Zaid b. Thabit inilah
yang telah mengumpulkan Qur'an pada masa khilafat Abu Bakr, dan dia pula
yang kembali dan mengawasi pengumpulan Qur'an tatkala terjadi
perbedaan cara membaca pada masa pemerintahan Usman. Lalu yang dipakai
hanya Mushhaf Usman, yang lain dibakar.
Suasana Medinah jadi tenteram setelah
Yahudi Banu Nadzir keluar. Pihak Muslimin tidak lagi merasa takut
terhadap orang-orang munafik. Bahkan kaum Muhajirin bersuka hati
memperoleh tanah bekas orang-orang Yahudi itu. Juga kalangan Anshar
turut gembira karena Muhajirin sudah tidak lagi bergantung pada bantuan
mereka. Hati mereka semua merasa lega. Dalam suasana yang begitu
tenang, aman dan tenteram, baik Muhajirin maupun Anshar, semua mereka
merasa senang. Dalam pada mereka dalam keadaan demikian, setelah berlalu
waktu setahun sejak peristiwa Uhud, teringat oleh Muhammad 'alaihi'sh
shalatu was-salam - ucapan Abu Sufyan: "Yang sekarang ini untuk
peristiwa perang Badr. Sampai jumpa tahun depan!" serta ajakannya
kepada Muhammad untuk mengadakan perang Badr lagi. Tetapi tahun itu
sedang terjadi musim kering (paceklik). Harapan Abu Sufyan ialah
sekiranya perang itu diadakan dalam waktu lain saja.
Untuk itu diutusnya Nusaim (b. Mas'ud) ke
Medinah dengan mengatakan kepada pihak Muslimin, bahwa Quraisy telah
mengerahkan tentaranya begitu besar yang belum ada taranya dalam
sejarah Arab; sudah siap akan memerangi mereka, akan
menghancur-luluhkan mereka sehingga tidak akan tersisa lagi. Tampaknya
kaum Muslimin pun mau menghindari bahaya itu. Banyak diantara mereka
yang memperlihatkan keengganan pergi ke Badr. Tetapi Muhammad jadi marah
karena sikap lemah dan mau surut itu. Ia bersumpah mengatakan kepada
mereka, bahwa ia akan pergi juga ke Badr walaupun seorang diri.
Badr terakhir
Melihat kejengkelan yang luar biasa itu segala sikap
maju mundur dan perasaan takut-takut segera lenyap. Kaum Muslimin
sekarang siap memanggul senjata dan berangkat ke Badr. Dalam hal ini
pimpinan kota Medinah oleh Nabi diserahkan kepada Abdullah b. Abdullah
b. Ubayy b. Salul.
Muslimin yang sudah sampai di Badr,
sekarang menantikan kedatangan Quraisy. Mereka sudah siap bertempur.
Demikian juga pihak Quraisy dengan pimpinan Abu Sufyan sudah pula
berangkat dari Mekah dengan kekuatan 2000 orang. Tetapi sesudah dua
hari perjalanan tampaknya Abu Sufyan mau kembali pulang. Ia
memanggil-manggil teman-temannya sambil katanya:
"Saudara-saudara dari Quraisy, sebenarnya
yang cocok buat kita hanyalah dalam musim subur, sedang sekarang kita
dalam musim kering. Saya sendiri mau kembali pulang. Maka pulang
sajalah kamu sekalian."
Mereka itu kembali pulang.
Tinggal lagi Muhammad dengan tentara
Muslimin selama delapan hari terus-menerus menantikan mereka, yang
selama di Badr itu pula waktu mereka pergunakan sambil berdagang. Dan
dalam perdagangan itu mereka mendapat laba. Mereka kembali ke Medinah
pun kemudian dengan gembira, telah mendapat karunia dari Tuhan. Dalam
Badr Terakhir itulah firman Tuhan ini turun:
"Mereka yang berkata kepada teman-temannya,
dan mereka sendiri tinggal di belakang: 'Sekiranya mereka itu mengikut
kita, niscaya mereka takkan mati terbunuh.' Katakanlah: Cobalah
hindarkan dirimu dari kematian, kalau memang kamu orang-orang yang
benar. Jangan kamu kira orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu
sudah mati. Tidak! Mereka itu hidup dengan mendapat bagian dari Tuhan.
Mereka dalam suasana gembira karena karunia yang diberikan Tuhan juga;
mereka girang sekali terhadap mereka yang tidak ikut dan tinggal di
belakang, bahwa mereka tidak merasa takut dan tidak pula berdukacita.
Mereka girang karena karunia dan nikmat Tuhan dan Tuhan tidak akan
menghilangkan jasa orang-orang beriman, orang-orang yang telah memenuhi
panggilan, Tuhan dan Rasul meskipun mereka sudah mengalami malapetaka,
orang-orang yang berbuat baik dan dapat memelihara diri dari
kejahatan; mereka itulah yang akan mendapat pahala besar. Orang yang
sudah berkata kepada mereka: 'Sebenarnya orang-orang sudah berkumpul
hendak melawan kamu. Karena itu hendaklah kamu takut kepada mereka.
Tetapi hal ini bahkan menambah kuat iman mereka, dan jawab mereka: Cukup
Tuhan bersama kami dan Ia Pelindung yang sebaik-baiknya. Mereka
kembali mendapatkan nikmat dan karunia dari Tuhan. Mereka tidak
mengalami bencana, dan mereka mengikut perkenaan Allah. Dan Allah Maha
Pemberi karunia yang besar. Yang demikian itu hanyalah setan yang
menakut-nakuti pengikut-pengikutnya. Jangan kamu takut kepada mereka,
tapi takutlah kepadaKu, kalau benar-benar kamu orang-orang beriman."
(Qura'an, 3: 168 - 175)
Dengan demikian perang Badr yang terakhir
benar-benar telah menghapus pengaruh perang Uhud samasekali. Buat
Quraisy hanya tinggal lagi menunggu kesempatan lain, dengan tetap
mereka bergelimang dalam kecemaran karena sifat pengecutnya yang tidak
kurang cemarnya dari kekalahan yang mereka derita dalam perang Badr
pertama.
Dengan pertolongan Tuhan itu Muhammad
merasa lega tinggal di Medinah, merasa tenteram hatinya karena
kewibawaan Muslimin kini telah kembali. Sungguhpun begitu ia selalu
waspada terhadap segala tipu-muslihat musuh, selalu awas-awas ke
segenap jurusan.
Ekspedisi Dhat'r-Riqa'
Sementara dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba
terbetik berita, bahwa ada sebuah kelompok dari Ghatafan di Najd yang
sedang bersepakat hendak memeranginya. Dan taktiknya selalu dalam hal
ini ialah menyergap musuh secara tiba-tiba sebelum musuh itu sempat
mengadakan persiapan mempertahankan diri. Oleh karena itulah, dengan
kekuatan empat ratus orang ia berangkat menuju Dhat'r-Riqa'. Di tempat
ini pihak Banu Muharib dan Banu Tha'laba dari Ghatafan sudah berkumpul.
Begitu ia dilihat oleh mereka, ia langsung melakukan penyerbuan ke
tempat-tempat mereka itu. Dengan meninggalkan kaum wanita dan harta,
mereka lari tunggang-langgang. Apa yang dapat dibawa oleh Muslimin
dibawanya, dan mereka kembali pulang ke Medinah.
Akan tetapi, karena dikuatirkan pihak musuh
akan kembali menyerang mereka, siang malam mereka pun secara
bergantian mengadakan penjagaan. Dalam pada itu dalam memimpin
sembahyang juga oleh Muhammad dilakukan dengan salat khauf.1 Dalam hal
ini sebagian mereka menghadap ke jurusan musuh, karena dikuatirkan
kalau-kalau pihak musuh menyusul menyerang mereka, sementara mereka
sedang bersembahyang dua raka'at bersama-sama Muhammad itu. Akan tetapi
selama itu tidak ada bayangan musuh yang tampak. Kemudian Nabi dan
sahabat-sahabat kembali ke Medinah setelah 15 hari meninggalkan kota
itu. Dengan sukses demikian ini mereka kembali dengan gembira sekali.
Ekspedisi Duma'l-Jandal
Tidak lama sesudah itu Nabi pun berangkat lagi dalam
suatu ekspedisi, yakni ekspedisi Dumat'l-Jandal. Dumat'l-Jandal ini
adalah sebuah wahah (oasis) pada perbatasan Hijaz-Syam, yang terletak
pada pertengahan jalan antara Laut Merah dengan Teluk Persia. Muhammad
sendiri tidak sampai bertemu dengan kabilah-kabilah yang ingin
dihadapinya itu dan yang suka menyerang kafilah-kafilah di sana; sebab
baru mereka mendengar namanya saja, mereka sudah ketakutan dan sudah
kabur lebih dulu, dengan meninggalkan harta benda yang kemudian dibawa
Muslimin sebagai barang ghanima (rampasan perang). Berdasarkan batas
Dumat'l-Jandal secara geografis kita sudah dapat melihat betapa luasnya
pengaruh Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu, betapa jauhnya kekuasaan
mereka dan betapa pula seluruh jazirah itu merasa takut. Begitu juga
kita melihat bagaimana Muslimin itu menanggung segala macam beban dalam
ekspedisi-ekspedisi itu, dengan tidak pedulikan panas terik yang
rnembakar, tanah yang kering dan gersang, air yang sukar diperoleh,
bahkan maut sendiri pun tidak lagi mereka hiraukan. Hanya satu yang
menggerakkan mereka sampai mencapai kemenangan dan sukses itu, yang
telah memberikan kekuatan moril kepada mereka, yaitu: keteguhan iman,
iman yang hanya kepada Allah semata-mata.
Sekarang tiba waktunya buat Muhammad
beristirahat di Medinah untuk selama beberapa bulan berikutnya,
sementara menantikan Quraisy sampai tahun depan - tahun kelima Hijrah -
dan menjalankan perintah Tuhan menyelesaikan suatu susunan masyarakat
bagi umat Islam yang baru tumbuh itu, suatu organisasi yang pada waktu
itu meliputi beberapa ribu orang dan yang kemudian akan meliputi jutaan
bahkan ratusan juta umat Islam. Dalam membuat struktur masyarakat itu,
ia bertindak dengan cara yang begitu cermat dan baik sekali, sejalan
dengan wahyu Tuhan yang diberikan kepadanya, dan ditentukannya sendiri
pula mana-mana yang sesuai dengan perintah dan ajaran wahyu itu, dengan
ketentuan-ketentuan terperinci yang oleh sahabat-sahabat pada waktu
itu diberi tempat yang suci, dan yang selanjutnya akan tetap berlaku
begitu sepanjang masa dan generasi; wahyu yang tiada dimasuki kepalsuan
dari manapun juga, baik dari semula maupun sesudah itu.
Catatan kaki
1 Shalat'l-khauf, harfiah salat ketakutan, yakni
sembahyang darurat dalam keadaan bahaya. Syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuannya terdapat dalam buku-buku fikih (A).
Sumber : http://www.sejarahnabi.net/2010/09/bab-xvi-pengaruh-uhud.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar