Ini adalah sebuah kisah
tentang seorang kekasih yang tak bernama. Awal kisah dalam penemuanku
dalam remah-remah pengkhianatan seorang perempuan. Sebenarnya sudah
kupastikan untuk tidak menaburi luka ini dengan air cuka baru, namun
setiap perjalanan menentukan jalannya sendiri. Maka, kini pun aku
terduduk dalam dalam dekapan tuts-tuts elektronis, merangkum seluruh
aromanya yang belum lama hilang, dan mencoba melupakan segala letih.
Jiwa raga.
Dia tidak pernah
kuketahui namanya. Atau memang aku tidak mau mengingat. Aku ingin, jika
saja kemanisan ini akan mempertahankan dirinya, maka kenangnya akan
tertulis sebagai anonim. Sebagai monumen yang orang akan mengenalnya
tanpa perlu bantuan kata. Dan jika saja ia ingin mencuri hatiku dan lalu
memusnahkannya, aku takkan pernah punya dendam. Sebab ia tidak bernama,
dan dendam butuh entitas.…
Apakah aku mengetahui
segala tentang seorang perempuan ini? Tidak juga. Tapi kuanggap ia
adalah perempuan yang tidak biasa, yang bersinar-sinar dalam aura
magisnya tiap kali berkelebat dari pandanganku. Ah, sebenarnya tidak
secara harafiah demikian. Sebab aku pun belum pernah melihatnya.
“Mas, apa maksud semua
kata-kata ini?”, tanyanya suatu kali dalam kotak imelku. Di bawah
pertanyaan pendeknya itu, masih tertulis imel asli yang kukirimkan
padanya beberapa hari lalu. Penuh kata-kata absurd, yang menggelikan
jika kubaca sekarang. Tapi semua nada itu muncul begitu saja tatkala aku
menuliskannya. Semua karena aku jatuh cinta.
Jatuh cinta?
Sebenarnya aku tidak
ingin mengotori kenanganku padanya dengan kata-kata yang paling sering
disalahmengerti ini. Tapi kurasa aku tak punya bahasa lain untuk
mewakilinya. Kurasa bahasaku pun takkan dapat dipahaminya.
Maka, kukirimkan
rangkaian bunga kemboja berjumlah duapuluh tangkai, di hari ulang
tahunnya. Ia marah-marah setelah itu, berkali-kali mencoba
menghubungiku, tapi telah kumatikan benda kecil yang selalu
berdering-dering sambil mengedipkan namanya (meski aku tak mencoba
mengingatnya). Dan esok harinya kotak imelku penuh dengan ratusan surat
darinya. “Mas sudah gila ya?” Begitu saja. Tampaknya ia tidak mempunyai
selera humor. Atau ia memang benar-benar marah.
“Mas, bisa kan kita
ketemu?” pintanya suatu kali. Tapi aku begitu pengecut untuk sekedar
memberanikan diri untuk memandang kornea yang demikian cerlang. Meski
aku belum pernah melihatnya. Dan kembali kukirimkan rangkaian bunga
mawar, setangkai saja. Dan kurasa ia bisa memahami apa yang diwakili
oleh helai-helai merah darah itu.
Ia tidak pernah
bertanya-tanya lagi, dan selalu menjawab setiap tanyaku. Selalu mau
membalut luka-luka menahunku. Menemaniku melengkapi malam, meski dari
jarak yang tak terukur indera. Tapi kutahu ia berjaga jika aku berjaga.
Dalam berlaksa waktu, kukira ia adalah seorang dewi yang turun ke
carutmarut duniaku ini. Entah untuk apa. Entah mengapa ia mampu
menanggungkan segala perih yang kutumpahkan kepadanya, tanpa pernah
berkata apa-apa. Mungkin ia malah tersenyum. Dan mungkin aku psikopat. …
“Mas, aku ingin jadi
kekasihmu.” Begitu saja ia menuliskannya. Tanpa ada bunga. Tanpa ada
kembang api. Tapi hatiku hancur lebur karenanya, menanggungkan sukacita.
Tapi aku tidak bisa menjumpainya. Tapi aku tidak bisa tuk sekedar
memandang keajaiban yang merangkum jiwanya yang agung.
Mengapa? Aku tak tahu.
Mungkin aku dikutuk oleh semesta untuk menjadi penunggu gua. Mungkin aku
kelelawar yang tak bisa memandang kecerahan mentari. Mungkin aku
drakula. Ah, betapa membosankannya kisahku ini. Tapi dalam
kesendirianku, terduduk dalam dekapan tuts-tuts elektronis, merangkum
seluruh aromanya yang belum lama hilang, dan mencoba melupakan segala
letih, jiwa raga, aku masih bisa mengenangkan dirinya. Seorang kekasih
yang tidak bernama. Dan aku begitu bersyukur karenanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar