Salah satu pesan utama
konsep Hijrah dalam Islam adalah perubahan. Perubahan memiliki dua aspek
utama. Yaitu perubahan jasmaniyyah (jasad) dan ma’nawiyyah (nilai).
Perubahan jasad mengandung makna berubahnya suatu kondisi fisik manusia
dari suatu tempat tercela ke tempat yang terpuji. Sedangkan perubahan
nilai artinya merubah pola pikir, akhlak dan tujuan hidup menuju
ketauhidan.
Semua aspek perubahan di atas sangat penting untuk membangun
peradaban
Islam. Akan tetapi, aspek yang saat ini sedang menghadapi tantangan
terbesar ialah aspek pemikiran. Untuk itu, dalam tulisan ini akan fokus
membahas mengenai pesan hijrah (perubahan) pola pikir untuk membangun
peradaban Islam.
Makna Relasional Konsep Hijrah
Secara bahasa, sebagaimana dalam
al-Mu’jam al-Wasith
(2004:972), kata Hijrah berasal dari akar kata
“hajara” yang
mengandung makna “
taba’ud” (menjauh). Adapun salah satu bentuk
derivasi dari kata tersebut adalah
“haajara” berarti aktifitas
meninggalkan suatu negeri. Sedangkan kata “
al-Hijrah” berarti
berpindahnya seseorang meninggalkan suatu tempat ke tempat lain yang
lebih baik.
Menurut istilah,
“Hijrah” dalam pandangan Imam ar-Raghib
al-Ashfahami dalam
Jihad: Makna dan Hikmah (2006), hijrah
berarti aktifitas kaum muslimin meninggalkan negeri asalnya yang berada
di bawah kekuasaan pemerintahan kaum kafir menuju negeri yang beriman.
Muhammad Rasyid Ridha menambahkan bahwa hijrah harus dilakukan dengan
niatan untuk mencari ridha Allah SWT untuk menegakkan agama Allah SWT.
Ahzami Samiun Jazuli dalam
Hijrah dalam Pandangan Al-Quran
mengatakan bahwa hijrah dalam konteks meninggalkan
darul kufr adalah
wajib bagi semua muslim. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW yang
diriwayatkan oleh Sunan Abu Dawud :
“Hijrah tidak pernah terputus
hingga terputusnya tobat. Dan tobat tidak akan terputus hingga matahari
terbit dari barat”. Artinya perintah untuk hijrah tidak pernah
terhapuskan kecuali hari kiamat datang.
Dalam sejarah Islam, hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW
bukanlah hijrah yang pertama kali dan satu-satunya. Sebelum beliau, para
nabi-nabi sudah melakukan hal yang sama yaitu berhijrah. Sebagaimana
diungkapkan oleh Ahmad Abdul Ghani dalam
Hijratu al-Rasul wa
Shahabatihi fii al-Qur’an wa as-Sunnah (1989), misalnya, Nabi
Ibrahim as. yang telah hijrah ke Syam, Mesir dan Mekkah. Nabi Musa as.
telah berhijrah ke Madinah. Nabi Luth as ke Syam, dan lain sebagainya.
Konsep hijrah dalam Islam memiliki makna yang saling terkait
(relational
concept) dengan konsep dasar lainnya dalam al-Qur’an. Konsep inti
yang mengikat konsep hijrah adalah
al-Iman (Iman) dan
al-Jihad
(Jihad). Hampir mayoritas ayat yang berbicara tentang hijrah selalu
mengaitkannya dengan iman dan jihad (QS. At-Taubah : 20 dan al-Baqarah :
128). Artinya, hijrah hendaknya dilakukan dengan penuh keimanan dan
bertujuan (berniat) untuk berjihad menyebarkan kebenaran Allah SWT.
Muhammad Na’im dalam bukunya H
aqiqah al-Jihad fi al-Islam (1984:31)
mengartikan istilah
Jihad sebagai suatu usaha sekuat tenaga,
mencurahkan segala potensi dan kemampuan berupa kata-kata maupun
tindakan. Lebih lanjut, Ibn Taymiyyah dalam
al-‘Ubudiyyah
mengatakan bahwa hakekat jihad adalah ijtihad menggapai keridhaan Allah
SWT dengan iman dan amal shalih. Al-Jurjani menambahkan, dengan selalu
memohon petunjuk kepada agama yang benar. Dan inilah yang menjadi nilai
sakralitas jihad dalam Islam.
Selain terkait dengan konsep Iman dan Jihad, konsep hijrah juga
terkait dengan konsp
al-Rahmah. Kata
al-Rahmah adalah
bentuk derivasi dari kata
“rahima”, yang berarti kasih sayang.
Konsep ini merupakan salah satu sifat Allah SWT yaitu
ar-Rahman
dan
ar-Rahim. Dalam surat al-Balad : 17, Allah SWT
menggambarkan bahwa sifat
Rahmah merupakan cara yang baik dalam
berdakwah selain dari pada sifat sabar (al-sabr).
Jadi, hijrah dalam Islam memiliki sifat yang sangat sakral (suci) dan
mulia. Untuk itu, hijrah harus dilakukan dengan penuh keimanan. Sebab,
dengan keimanan itulah ia akan berjihad menegakkan kebenaran Allah SWT.
Dengan jihad inilah umat Islam berusaha membangun peradaban Islam dengan
nilai-nilai kasih sayang.
Pesan Perubahan
Salah satu tantangan terbesar umat Islam saat ini adalah tantangan
pemikiran. Atau yang lazim disebut dengan
ghazwul fikr. Perang
pemikiran memang bukan hal yang baru dalam Islam. Meskipun demikian,
ancaman inilah yang justru mampu mengeluarkan umat Islam dari agamanya.
Bahkan, lebih bahaya lagi, perang ini bisa mengakibatkan muslim
memerangi agamanya sendiri.
Karena masalah pemikiran, maka tidak dapat dilepaskan dari konteks
keilmuan saat ini. Al-Attas mengatakan bahwa konsep ilmu yang dipahami
umat Islam saat ini lebih mengedepankan akal dari pada wahyu. Inilah
yang menjadi salah satu penyebab kemunduran umat Islam.
Akal yang seharusnya tunduk kepada wahyu kini terbalik. Wahyu dihujat
dan akal pun dituhankan. Ini sangat bertentangan dengan nilai agama
Islam. Karena meninggikan derajat akal di atas wahyu, maka ilmu yang
dihasilkan pun akhirnya menjadi sekular. Paham sekular ini berusaha
untuk melepaskan agama dari keilmuan. Dengan adanya sekularisasi, upaya
membangun peradaban Islam pun semakin berat.
Arus globalisasi yang dibawa oleh peradaban Barat merupakan tantangan
Islam. Arus ini telah menebarkan benih-benih sekularisme, liberalisme,
dan pluralisme. Paham-paham tersebut ingin menghapuskan agama dari
tataran kehidupan manusia. Sebagai faktanya, ilmu ekonomi, sosial,
politik, pendidikan bahkan budaya kini tidak ragu lagi menolak agama.
Artinya, globalisasi telah sukses memisahkan agama dari semua bidang
keilmuan.
Menurut Yves Brunsvick dalam
Lahirnya Sebuah Peradaban (2005)
bahwa arus globalisasi telah membawa dampak perubahan peradaban. Baik
dari budaya, bahasa, agama dan system. Semuanya telah berubah.
Tergantung oleh siapa yang mampu mengiringi globalisasi tersebut. Ini
menunjukkan bahwa saat ini, peradaban yang menguasai dunia adalah datang
dari peradaban barat. Pernyataan ini diamini oleh Budi Winam dalam
bukunya
Globalisasi & Krisis Demokrasi (2007). Ia
menyatakan bahwa salah satu bukti suksesnya arus globalisasi ialah
terjadinya perubahan sistem pemerintahan yang demokratis.
Peradaban Barat yang dibawa oleh globalisasi tidak sejalan dengan
konsep peradaban Islam. Jika Barat maju karena meninggalkan agama, Islam
tidak demikian. Justru ketika umat Islam memisahkan diri dari agama,
maka kehancuran atau kebiadaban akan semakin berkuasa. Untuk itu,
diperlukan suatu perubahan peradaban dunia dengan nilai-nilai Islam.
Menurut Ibn Khaldun dalam
The Muqaddimah: an Introduction to
History (1978 : 54-57), suatu peradaban akan mampu terwujud apabila
tiga hal pokok telah terpenuhi, yaitu, Kemampuan manusia untuk berpikir
yang menghasilkan sains dan teknologi, Kemampuan berorganisasi dalam
bentuk kekuatan politik dan militer dan kesanggupan berjuang untuk
hidup.
Lebih lanjut, Ibn Khaldun mengatakan bahwa tanda terwujudnya
peradaban ialah di mana ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia,
geometri, aritmetik, astronomi, optik, kedokteran dsb. berkembang secara
pesat. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban tergantung atau berkaitan
dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan. Jadi substansi peradaban yang
terpenting dalam teori Ibn Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Namun, bukan
berarti itu adalah satu-satunya substansi peradaban.
Sayid Husein Nasr –Seorang tokoh pertama dalam pembicaraan wacana
baru tentang
Ilmu Pengetahuan dan Islam, di Teheran,
Iran– menyebut ilmu pengetahuan dengan
Scientia Sacra (Sacred
science, “ilmu sacral”) untuk menunjukkan bahwa aspek kearifan
ternyata jauh lebih penting dari pada aspek teknologi yang sampai saat
ini masih menjadi ciri utama ilmu pengetahuan modern.
Senada dengan Syed Husein Nasr, Muhammad Abduh lebih menekankan pada
aspek agama. Menurutnya, agama, keimanan serta nilai-nilai spiritualitas
adalah pokok terpenting dari membangun peradaban. Jadi, menolak agama
sebagai inti peradaban berarti sama halnya dengan membangun rumah tanpa
pondasi.
Hamid Fahmy dalam bukunya
Peradaban Islam (2010) mengajukan
strategi sebagai solusi untuk membangun kembali peradaban Islam.
Pertama,
Memahami sejarah jatuh bangunnya peradaban Islam di masa lalu.
Kedua,
Memahami kondisi umat Islam masa kini dan mengidentifikasi masalah atau
problematika yang sedang dihadapi umat Islam masa kini. Dan
ketiga,
Sebagai prasyarat bagi poin kedua, adalah memahami kembali
konsep-konsep kunci dalam Islam.
Karena dasar peradaban Islam adalah agama. Maka upaya memahami
kembali konsep Islam sudah tepat. Upaya ini lebih populer disebut dengan
Islamisasi. Artinya, memilah-milah konsep ilmu yang sesuai dengan
al-Qur’an dan al-Hadits. Islamisasi merupakan tugas besar umat Islam
saat ini. Adapun harapan dari upaya tersebut ialah terintegrasinya ilmu
pengetahuan dengan agama. Inilah yang akan menjadi pondasi peradaban
Islam.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa peradaban umat Islam
ini adalah peradaban yang total. Maksudnya, peradaban Islam tidak
terlepas dari nilai-nilai agama, pendidikan, politik, ekonomi, sosial,
dll. yang saling terintegrasi. Sebuah peradaban yang sangat menjunjung
nilai ketuhanan (tauhid) dan ilmu pengetahuan (sains). Bukan seperti
peradaban barat yang sekuler dan yang jauh dengan agama. Inilah pesan
perubahan yang tersirat dari makna Hijrah.
Wallahu a’lam bi
as-shawab.