HAK SUAMI DALAM ISLAM
Pertanyaan:
Sebagaimana
diketahui, bahwa seorang Muslim tidak boleh malu untuk menanyakan apa
saja yang berkaitan dengan hukum agama, baik yang bersifat umum maupun
pribadi. Oleh kerana itu, izinkanlah kami mengajukan suatu pertanyaan
mengenai hubungan seksual antara suami-istri yang berdasarkan agama,
yaitu jika si istri menolak ajakan suaminya dengan alasan yang dianggap
tidak tepat atau tidak berdasar. Apakah ada penetapan dan batas-batas
tertentu mengenai hal ini, serta apakah ada petunjuk-petunjuk yang
berdasarkan syariat Islam untuk mengatur hubungan kedua pasangan,
terutama dalam masalah seksual tersebut?
Jawab:
Benar, kita tidak
boleh bersikap malu dalam memahami ilmu agama, untuk menanyakan sesuatu
hal. Aisyah r.a. telah memuji wanita Anshar, bahwa mereka tidak
dihalangi sifat malu untuk menanyakan ilmu agama. Walaupun dalam
masalah-masalah yang berkaitan dengan haid, nifas, janabat, dan
lain-lainnya, di hadapan umum ketika di masjid, yang biasanya dihadiri
oleh orang banyak dan di saat para ulama mengajarkan masalah-masalah
wudhu, najasah (macam-macam najis), mandi janabat, dan sebagainya.
Hal serupa juga
terjadi
di tempat-tempat pengajian Al-Qur'an dan hadis yang ada hubungannya
dengan masalah tersebut, yang bagi para ulama tidak ada jalan lain,
kecuali dengan cara menerangkan secara jelas mengenai hukum-hukum Allah
dan Sunnah Nabi saw. dengan cara yang tidak mengurangi kehormatan agama,
kehebatan masjid dan kewibawaan para ulama. Hal itu sesuai dengan apa
yang dihimbau oleh ahli-ahli pendidikan pada saat ini. Yakni, masalah
hubungan ini, agar diungkapkan secara jelas kepada para pelajar, tanpa
ditutupi atau dibesar-besarkan, agar dapat dipahami oleh mereka.
Sebenarnya, masalah
hubungan antara suami-istri itu pengaruhnya amat besar bagi kehidupan
mereka, maka hendaknya memperhatikan dan menghindari hal-hal yang dapat
menyebabkan kesalahan dan kerusakan terhadap kelangsungan hubungan
suami-istri. Kesalahan yang bertumpuk dapat mengakibatkan kehancuran
bagi kehidupan keluarganya.
Agama Islam dengan nyata tidak
mengabaikan segi-segi
dari kehidupan manusia dan kehidupan berkeluarga, yang telah diterangkan
tentang perintah dan larangannya. Semua telah tercantum dalam
ajaran-ajaran Islam, misalnya mengenai akhlak, tabiat, suluk, dan
sebagainya. Tidak ada satu hal pun yang diabaikan (dilalaikan).
1. Islam telah
menetapkan
pengakuan bagi fitrah manusia dan dorongannya akan seksual, serta
ditentangnya tindakan ekstrim yang condong menganggap hal itu kotor.
Oleh kerana itu, Islam melarang bagi orang yang hendak menghilangkan dan
memfungsikannya dengan cara menentang orang yang berkehendak untuk
selamanya menjadi bujang dan meninggalkan sunnah Nabi saw, yaitu
menikah. Nabi saw. telah menyatakan sebagai berikut: "Aku lebih mengenal
Allah daripada kamu dan aku lebih khusyu, kepada Allah daripada kamu,
tetapi aku bangun malam, tidur, berpuasa, tidak berpuasa dan menikahi
wanita. Maka, barangsiapa yang tidak senang (mengakui) sunnahku, maka
dia bukan termasuk golonganku."
2. Islam telah menerangkan atas hal-hal
kedua pasangan
setelah pernikahan, mengenai hubungannya dengan cara menerima dorongan
akan masalah-masalah seksual, bahkan mengerjakannya dianggap suatu
ibadat. Sebagaimana keterangan Nabi saw.: "Di kemaluan kamu ada sedekah
(pahala)." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ketika kami
bersetubuh dengan istri akan mendapat pahala?" Rasulullah saw. menjawab,
"Ya. Andaikata bersetubuh pada tempat yang dilarang (diharamkan) itu
berdosa. Begitu juga dilakukan pada tempat yang halal, pasti mendapat
pahala. Kamu hanya menghitung hal-hal yang buruk saja, akan tetapi tidak
menghitung hal-hal yang baik."
Berdasarkan tabiat dan fitrah, biasanya
pihak
laki-laki yang lebih agresif, tidak memiliki kesabaran dan kurang dapat
menahan diri. Sebaliknya wanita itu bersikap pemalu dan dapat menahan
diri. Kerananya diharuskan bagi wanita menerima dan menaati panggilan
suami. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis: "Jika si istri dipanggil oleh
suaminya kerana perlu, maka supaya segera datang, walaupun dia sedang
masak." (H.r.Tirmidzi, dan dikatakan hadis Hasan).
Dianjurkan oleh Nabi
saw.
supaya si isteri jangan sampai menolak kehendak suaminya tanpa alasan,
yang dapat menimbulkan kemarahan atau menyebabkannya menyimpang ke jalan
yang tidak baik, atau membuatnya gelisah dan tegang. Nabi saw. telah
bersabda: "Jika suami mengajak tidur si isteri lalu dia menolak,
kemudian suaminya
marah
kepadanya, maka malaikat akan melaknat dia sampai pagi." (H.r. Muttafaq
Alaih).
Keadaan
yang demikian itu jika dilakukan tanpa uzur dan alasan yang masuk akal,
misalnya sakit, letih, berhalangan, atau hal-hal yang layak. Bagi suami,
supaya menjaga hal itu, menerima alasan tersebut, dan sadar bahwa Allah
swt. adalah Tuhan bagi hamba-hambaNya Yang Maha Pemberi Rezeki dan
Hidayat, dengan menerima uzur hambaNya. Dan hendaknya hambaNya juga
menerima uzur tersebut. Selanjutnya, Islam telah melarang bagi seorang
istri yang berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya, kerana baginya lebih
diutamakan untuk memelihara haknya daripada mendapat pahala puasa.
Nabi saw. bersabda:
"Dilarang bagi si istri (puasa sunnah) sedangkan suaminya ada, kecuali
dengan izinnya." (H.r. Muttafaq Alaih).
Disamping dipeliharanya hak kaum
laki-laki
(suami) dalam Islam, tidak lupa hak wanita (istri) juga harus dipelihara
dalam segala hal. Nabi saw. menyatakan kepada laki-laki (suami) yang
terus-menerus puasa dan bangun malam.
Beliau bersabda: "Sesungguhnya bagi
jasadmu
ada hak dan hagi keluargamu (istrimu) ada hak."
Abu Hamid Al-Ghazali,
ahli fiqih dan tasawuf? dalam kitab Ihya' mengenai adab bersetubuh,
beliau berkata: "Disunnahkan memulainya dengan membaca
Bismillahirrahmaanirrahiim dan berdoa, sebagaimana Nabi saw. mengatakan:
"Ya Allah,jauhkanlah aku dan setan dan jauhkanlah setan dari apa yang
Engkau berikan kepadaku'."
Rasulullah saw. melanjutkan sabdanya,
"Jika mendapat
anak, maka tidak akan diganggu oleh setan."
Al-Ghazali berkata,
"Dalam suasana ini (akan
bersetubuh) hendaknya didahului dengan kata-kata manis,
bermesra-mesraan dan sebagainya; dan menutup diri mereka dengan
selimut,jangan telanjang menyerupai binatang. Sang suami harus
memelihara suasana dan menyesuaikan diri, sehingga kedua pasangan
sama-sama dapat menikmati dan merasa puas."
Berkata Al-Imam Abu
Abdullah Ibnul Qayyim
dalam kitabnya Zaadul Ma'aad Fie Haadii Khainrul 'Ibaad, mengenai sunnah
Nabi saw. dan keterangannya dalam cara bersetubuh.
Selanjutnya Ibnul
Qayyim
berkata: Tujuan utama dari jimak (bersetubuh) itu ialah:
1. Dipeliharanya nasab
(keturunan), sehingga mencapai jumlah yang ditetapkan menurut takdir
Allah.
2.
Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan jika ditahan
terus.
3.
Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana kelak di surga.
Ditambah lagi
mengenai manfaatnya, yaitu: Menundukkan pandangan, menahan nafsu,
menguatkan jiwa dan agar tidak berbuat serong bagi kedua pasangan. Nabi
saw. telah menyatakan:"Yang aku cintai di antara duniamu adalah wanita
dan wewangian."
Selanjutnya
Nabi saw. bersabda: "Wahai para pemuda! Barangsiapa yang mampu
melaksanakan pernikahan, maka hendaknya menikah. Sesungguhnya hal itu
menundukkan penglihatan dan memelihara kemaluan."
Kemudian Ibnul Qayyim
berkata, "Sebaiknya sebelum bersetubuh hendaknya diajak bersenda-gurau
dan menciumnya, sebagaimana Rasulullah saw. melakukannya."
Ini semua menunjukkan
bahwa para ulama dalam usaha mencari jalan baik tidak bersifat
konservatif, bahkan tidak kalah kemajuannya daripada penemuan-penemuan
atau pendapat masa kini.
Yang dapat disimpulkan di sini adalah
bahwa
sesungguhnya Islam telah mengenal hubungan seksual diantara kedua
pasangan, suami istri, yang telah diterangkan dalam Al-Qur'anul Karim
pada Surat Al-Baqarah, yang ada hubungannya dengan peraturan keluarga.
Firman Allah swt.:
"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa, bercampur dengan
istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu,dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, kerana itu, Allah mengampuni kamu dan memberi maaf
kepadamu. Maka
sekarang
campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu,
dan makan minumlah kamu, hingga jelas bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa itu sampai malam,
(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beriktikaf
dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya
..." (Q.s. Al-Baqarah: 187).
Tidak ada kata yang lebih indah, serta
lebih benar,
mengenai hubungan antara suami-istri, kecuali yang telah disebutkan,
yaitu: "Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian
bagi mereka." (Q.s. Al-Baqarah 187).
Pada ayat lain juga diterangkan, yaitu:
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: Haid itu adalah
suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu
menjauhkan diri dari
wanita di waktu haid;
dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka
telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan
Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat
dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.Istri-istrimu adalah
(seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok tanammu itu dengan cara bagaimana saja kamu kehendaki. Dan
kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan takwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemuiNya. Dan berilah kabar
gembira bagi orang-orang yang beriman." (Q.s.Al-Baqarah: 222-223).
Maka, semua hadis
yang menafsirkan bahwa dijauhinya yang disebut pada ayat di atas, hanya
masalah persetubuhan saja. Selain itu, apa saja yang dapat dilakukan,
tidak dilarang. Pada ayat di atas disebutkan: "Maka, datangilah tanah
tempat bercocok tanammu dengan cara bagaimanapun kamu kehendaki." (Q.s.
Al-Baqarah: 223).
Tidak ada suatu perhatian yang melebihi
daripada disebutnya masalah dan undang-undang atau peraturannya dalam
Al-Qur'anul Karim secara langsung, sebagaimana diterangkan di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar